GUNDUKAN KETAKLUKAN



Di ruas jalan sepanjang tidak lebih dari dua ratus meter itu, yang namanya belum lama ini diganti dengan nama seorang pahlawan lokal, hanya ada dua hal yang menjerat perhatian saya yaitu gundukan-gundukan kerikil dan kios-kios baru berwarna abu-abu.
Terlebih dulu akan saya ceritakan tentang gundukan-gundukan yang telah berderet tidak rapi di kanan-kiri jalan yang lumayan lebar tapi pendek itu sejak kira-kira lima tahun lalu.
Semula, orang, terutama penduduk kanan-kiri jalan itu, memastikan bahwa gundukan kerikil tersebut akan digunakan untuk perbaikan jalan yang kondisinya memang sudah kelewat memprihatinkan. Berantakan. Tak jauh beda dengan sungai lagi kerontang. Orang-orang ternyata pada keliru. Kenyataannya sampai detik ini gundukan itu masih saja tetap berwujud gundukan. Saya jadi iba pada sang pahlawan yang namanya diabadikan untuk nama jalan itu. Betapa celakanya dia.
Lima tahun memang waktu yang tidak sebentar. Penelantaran selama itu telah menyulut nyali belukar-belukar liar untuk tidak malu-malu lagi menyelimuti dan berusaha menguasai gundukan itu. Mereka sungguh mengagumkan: hijau dan sehat dan gesit.
Tidak jauh beda dengan jenis tumbuhan yang sering kena sumpah serapah itu, orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar jalan, atau orang-orang yang setiap harinya kebetulan lewat situ pun mulai menjarahnya. Berbeda dengan belukar liar yang ngawur, mereka itu cara menyerakahinya lebih berbudaya.
Orang-orang itu mulanya cuma iseng-iseng duduk-duduk di lereng gundukan sambil menikmati hangatnya sinar mentari di waktu pagi. Sudah barang tentu kesempatan untuk ngobrol tidak mereka lewatkan. Kalau topik obrolan sudah habis atau sudah kurang menarik, maka sebagai kompensasi, tangan mereka akan secara tak sadar menggerayangi batu-batu kerikil di sekitarnya. Namun ternyata diketahui bahwa di antara kerikil yang hitam kusam itu ada ditemukan batu akik yang cerlang cemerlang. Maka mulailah mereka mencongkel-congkel gundukan yang mulai keras memadat itu.
Setelah kabar itu tersiar dengan cara gethok tular, penjarahan batu akik mulai berlangsung seru. Tak jarang para penjarah, yang kebanyakan para pengangguran, berjingkrak dan berteriak kegirangan apabila mereka berhasil mendapatkan batu akik yang menurut mereka bernilai sangat tinggi.
Topik obrolan orang-orang yang tinggal di kanan-kiri jalan atau orang-orang yang jongkok mengobrak-abrik gundukan kerikil sekarang sudah mulai terarah dan tidak asal nyeplos. Mereka dengan serius mulai menghubung-hubungkan antara keadaan jalan yang bagai sungai kerontang, didatangkannya bertruk-truk kerikil, lamanya gundukan kerikil terbengkelai, diperiksanya mantan bupati yang juga pimpinan proyek perbaikan jalan, diselimutinya gundukan dengan belukar liar, dan lain-lain, dengan mitos kepahlawanan dan kepusakaan. Ini artinya, mereka meyakini bahwa gundukan itu memang dipersembahkan buat mereka. Hanya saja pusaka yang bersembunyi di dalamnya (yang menjelmakan diri jadi akik) untuk memperolehnya diperlukan sifat kepahlawanan dan semangat perjuangan yang tak tanggung-tanggung.
Kemudian mereka juga akan mengait-ngaitkan dengan bagaimana sengsaranya Arjuna dulu dalam usahanya mendapat pusaka Pasopati. Betapa nelangsanya Kresna demi untuk memiliki senjata Cakra. Betapa prihatinnya Bima melihat putranya Tetuka diceburkan ke kawah Candradimuka yang akhirnya menjadikannya sakti mandraguna, dan sebagainya.
Seperti halnya ketidaktahuan saya tentang kapan tepatnya belukar liar itu mulai menyelimuti gundukan, saya pun tidak tahu kapan persisnya mereka mulai beramai-ramai menyempatkan diri setiap pagi dengan bernafsu mengorek-ngorek, mencongkel-congkel, mengobrak-abrik gundukan tersebut dalam upaya mendapatkan pusaka akik sambil menjemur punggungnya yang tampak pada tipis melengkung.
Dari kejauhan dapat disaksikan bahwa mereka, sesama teman segundukan, akan saling memamerkan hasil jerih payahnya yaitu akik-akik hasil temuannya. Dan dilanjutkan dengan bincang-bincang berkisar tentang nama batu akik itu, keutuhannya, khasiatnya, jin macam apa yang kemungkinan mendekam di dalamnya, dan tokoh-tokoh lokal dan nasional terkenal yang memakainya sebagai cincin atau liontin. Bila saya lihat mereka mulai seru memperbincangkan akiknya masing-masing, saya akan datangi mereka. Obrolan ngalor-ngidul tentang batu akik itu akan saya ikuti dengan seksama dan saya catat hal-hal yang saya anggap penting dalam buku agenda yang memang sudah saya siapkan untuk itu.
Menjelang waktu shalat Dhuhur, setelah punggung-punggung menggeliat kepanasan dipanggang terik sang surya, mereka akan bubar dengan sendirinya. Bubar dengan tertib.
Namun sangatlah jarang lalu ruas jalan itu menjadi sunyi sama sekali, karena ada saja orang yang nekat. Para bonek itu cuma pulang sebentar untuk mengambil payung atau caping atau apa saja yang sekiranya bisa melindungi kepala dan punggung mereka, kemudian bergegas kembali ke (meminjam istilah mereka) medan pertempuran. Bahkan tidak jarang dijumpai pemandangan yang mencengangkan: mereka menyuruh istri atau mungkin babunya untuk memayungi selagi mereka jongkok crak-cruk-crak-cruk mencongkel-congkel gundukan. Dan orang yang belum terbujur kaku di dalam keranda tapi sudah dipayungi itu tidak bakal ditertawakan atau dilecehkan. Sebaliknya mereka malah akan dihormati dan dikagumi … hormat dengan keprihatinannya serta kagum dengan perjuangannya. Orang yang semacam itu akan mendapat jejuluk atau gelar sesuai dengan latar belakangnya. Yang konon pernah kuliah diberi gelar ‘Doktorandus’. Yang katanya pernah nyantri di pondok diberi gelar ‘Kyai’. Yang bersumpah masih trah kesuma alias dari lingkungan keraton diberi gelar ‘Raden Mas’ atau ‘Raden Ayu’. Yang ngakunya masih kerabat dekat Yang Dipertuan Agong diberi gelar ‘Tun’. Yang belum jelas asal usulnya diberi gelar ‘Satrio Piningit’. Dan masih banyak gelar-gelar yang berserakan di sekitar gundukan itu.
Tidaklah saya berlebihan bila saya tegaskan bahwa ruas jalan itu kini memang punya daya pesona luar biasa, khususnya bagi para pengangguran atau pensiunan atau orang yang tengah dirongrong frustrasi.
Yang ingin saya ceritakan adalah pengalaman saya ketika secara iseng mencoba ikut jongkok mencongkel-congkel gundukan kerikil.
Pagi itu untuk pertama kalinya saya menggabungkan diri jongkok bersama mereka menongkrongi gundukan kerikil. Dan ternyata untuk mendapatkan batu akik tidaklah terlalu sulit. Bagi saya yang menjadi kendala hanyalah perkara aroma. Bau tidak sedap itu berasal dari ikut tercongkelnya tahi kucing dan anjing dan (saya curiga) manusia. Entah mengapa banyak mahluk yang memerlukan membuang hajat di situ. Tapi sebelum saya sempat mengumpat, mereka, teman seperjuangan segundukan, akan mendekati saya dan dengan penuh dedikasi menasihati (sambil menepuk-nepuk pundak saya): bahwa masalah aroma itu cuma merupakan secuil dari sekian kubik bongkahan batu ujian yang harus saya hadapi dengan penuh ketabahan. Jangan lupakan bagaimana sengsaranya dulu para satria Pandawa saat bertapa di gua untuk memperoleh pusaka idamannya …. Begitu biasanya mereka mewejang saya.
“Pak Kyai, yang kayak begini ini bagus tidak?” tanya saya pada bapak tua berpeci putih dan bersarung tenun palekat yang juga tengah melakukan aktifitas yang sama seperti saya.
“Sebetulnya lumayan ini, sayangnya kurang bening, dan lihat … retaknya menusuk ke dalam. Bakalan sulit dibikin. Tidak usah digosok. Kecuali Nakmas Doktorandus rela jerih payahnya selama sebulan menggosok cuma, sekali lagi cuma, menghasilkan akik jelek sebesar beras,” jawab Pak Kyai yang berwajah licik itu seraya membolak-balik dan memelototi dan menerawangkan ke arah matahari akik warna (menurutnya) abu-abu yang baru saja saya dapatkan. Kemudian dia bilang bagaimana kalau akik yang bakal bikin susah seumur hidup itu untuknya saja. Tentu saja saya menggeleng. Lalu dia kembali menjelek-jelekkan akik saya.
Kemudian saya melanjutkan mencongkel-congkel gundukan dengan pena perak yang konon bermata emas hadiah ulang tahun saya yang ke-23 (usia ketika gelar kesarjanaan saya sabet dengan meyakinkan) dari ibunda tercinta. Setelah saya merasa di situ sudah sulit untuk mendapatkan akik yang tidak berwarna abu-abu, yang tidak kecil, yang tidak keruh, dan yang tidak retak, saya beranjak (sambil merangkak-rangkak kayak cicak karena punggung jadi mengeras kayak akik) pindah ke gundukan lainnya … dan seterusnya … pindah dari satu gundukan ke gundukan lainnya.
Entah pada kepindahan yang keberapa kalinya saya bertemu dengan seorang wanita separuh baya berkain Sidomukti berkebaya brokat yang juga tengah dengan bersemangat mengobrak-abrik mencongkel-congkel gundukan dengan tusuk kondenya yang berkilat keemasan memantulkan terpaan mentari pagi.
“Dapat, Den Ayu?” tanya saya sesopan mungkin sekalian berkenalan.
“Aduuuh blong, Nakmas Doktorandus,” jawabnya kenes dengan pandangan tetap tak beranjak dari kerikil-kerikil yang terburai kena terjang tusuk kondenya.
Blong?” saya melompong tak paham.
“Iiyyaa, lha wong terbalik,” jawabnya makin kemayu. Saya diam. Diam bukan karena telah paham akan tetapi karena saya jadi bingung. Namun karena saya sudah cukup lama terbiasa diam dalam kebingungan, dengan perasaan biasa-biasa saja dan tanpa beban apa-apa saya memutuskan untuk berpura-pura sudah paham dan tidak bertanya lebih lanjut. (Ibunda  berkali-kali menegaskan: diam itu emas, ngger cah bagus).
Menjelang pukul sebelas, setelah matahari dengan angkuh dan sewenang-wenang menghajar kulit kepala dan punggung saya, saya beringsut meninggalkan gundukan.
Kesemutan di kaki membuat langkah saya gentayangan seperti Cakil yang lagi mabok. Dari sekian lama jongkok lalu berdiri, pandangan saya jadi meremang dan berkunang-kunang. Setelah sekitar semenit semut dan kunang-kunang secara kurang ajar menganiaya diri saya, minggatlah mereka entah kemana. Tapi saya malah jadi merasa sepi dan sendiri. Saya jadi termangu-mangu.
Saya termangu-mangu. Untuk melangkah pulang (pulang ke mana?), enggannya bukan alang kepalang. Karena di rumah (rumah siapa?) saya harus kembali berhadapan dengan sodoran pertanyaan dan pernyataan Bapak tentang kesudahan studi saya, tentang gelar kesarjanaan yang lima tahun lalu saya sabet dengan predikat sangat memuaskan, tentang puluhan surat lamaran yang sudah saya bawa atau kirim ke berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan dalam negeri dan asing yang sampai detik ini belum (belum atau tidak?) ada kabar beritanya.
Saya tertegun-tegun. Entah mengapa saya jadi demikian ngeri bertatapan dengan mata sang pengukir jiwa-raga saya itu, juga dengan tatapan mata ibu saya, dengan mbakyu dan kangmas saya, dengan mereka yang dengan sembrono telah meletakkan harapan muluk-muluk di pundak saya yang makin melengkung dan rapuh ini, dan dengan mereka yang telah merasa punya andil atas rampungnya studi saya. Saya sungguh merasa ngeri. Ngeri!
Saya tercenung-cenung. Saya merasa lebih betah bermenung-menung menggambari kanvas angan-angan saya di pinggir jalan yang jelek dan bau tahi ini.
Saya timang-timang dengan sayang akik abu-abu yang menurut pengamatan Pak Kyai masuk kategori akik apkiran. Ya, abu-abu. Bisa tampak hitam bisa tampak putih. (Masih terngiang-ngiang penjelasannya: akik abu-abu artinya dia tidak hitam tidak juga putih, tidak gelap tidak juga terang, tidak jelas, tidak punya pendirian, tidak mendatangkan rezeki, tidak … dan masih sederet ‘tidak’ lagi).
Dan entah dari mana munculnya, tahu-tahu telah berdiri mengangkang di depan saya perempuan berkaos putih ketat bercelana hitam yang tak kalah ketatnya, yang belum saya kenal dan bahkan belum pernah saya lihat sebelumnya.
“Dapat, Mas Doktorandus?” tanya cewek itu sambil mesam-mesem.
Blong!” jawab saya tandas tegas menirukan sang Raden Ayu berkain kebaya bertusuk konde mengilat dengan harapan gadis manis dan modis itu akan kebingungan seperti saya. Tetapi ketika wajahnya yang ber-make up tipis tak secuil pun menampakkan kebingungan, saya pun melanjutkan, “Lha wong terbalik!” Tapi keparatnya wajahnya tetap saja adhem-ayem, bahkan dengan kalem dan ketua-tuaan ia menasehati:
“Sayang memang. Tapi sebetulnya yang penting ‘kan usahanya. Masalah berhasil dan tidaknya itu cuma sekadar konsekuensi logis. Ya, ‘kan, Mas Doktorandus? Dan kegagalan itu pada hakikatnya adalah keberhasilan yang tertunda. Jangan putus asa. Jangan lalu ngelokro kayak sontoloyo!”
Sampai di situ, setelah disontoloyokan, sebenarnya saya sudah ingin secepatnya mencelat dari hadapannya. Saya sudah terlalu muak dengan kata-kata yang sudah terlalu sering saya dengar itu. Celakanya Sontoloyo itu dengan tak sungkan-sungkan menggandeng tangan saya, menyeret saya menuju salah satu dari beberapa kios yang berderet tidak rapi di pinggir jalan, kios-kios yang memunggungi trotoar menentangi gundukan-gundukan, kios-kios yang tampak baru, masih beraroma cat, cat warna abu-abu seperti batu.
Sontoloyo yang saya akui cantik tapi tampak mesum berkeringat itu dengan lembut mendudukkan saya. Dan dia sendiri dengan lenggangnya yang menggoda mengambil tempat tepat di muka saya. Kami duduk berhadap-hadapan seperti mau main catur membungkuki dan mencoreti selembar kertas kalender bekas untuk merumuskan angka-angka masa depan. Kemudian dengan arif dan bijaksana (yang bisa saya rasakan dari kata pengantar yang dia sampaikan) menggiring saya untuk mendiskusikan cara merengkuh mimpi terindah tanpa susah tanpa payah.
Penampilan saya barangkali memang masih tergolong lumayan. Saya masih sudi mandi, meski tidak setiap hari. Saya masih berak cukup teratur, meski sering tahi saya terlalu keras dan hitam. Saya masih punya pantat yang cukup berisi, meski tak sepadat punya Sontoloyowati yang ada di depan saya itu. Dan mungkin itulah yang menyebabkan dia sangat bernafsu mengajak saya berbincang-bincang dengan bahasa muluk-muluk kayak pejabat yang nyambi jadi penjahat. Memuakkan. Maka untuk tidak terlalu lama terlibat dalam perbincangan meninggi melangit yang bisa bikin saya enek dan muntah darah, tanpa memilih saya langsung menyikat beberapa lembar kupon mimpi. Kemudian dengan bergegas saya minggat keluar kios, setelah saya manfaatkan waktu yang sebentar itu untuk mengelap wajahnya yang berminyak dengan saputangan saya yang juga sudah banyak menyedot minyak dari muka saya. Saya memang gampang sekali jatuh hati pada perempuan yang bibirnya bisa tersenyum riang dan mengatup keji dan tersenyum senang lagi dalam tempo sedetik. Saya merasa lebih nikmat bergentayangan di pinggir jalan ini … kalau capek tinggal jongkok di gundukan atau ngelesot di trotoar.
Saat menantikan bagi saya sekarang merupakan saat yang luar biasa nikmat. Saya sekarang benar-benar menyadari betapa gobloknya saya dulu yang paling tidak betah bahkan sering menyumpah-nyumpah jika terpaksa harus menunggu.
Saya merasa sungguh nyaman menggosok akik abu-abu saya dengan ampelas perlahan-lahan sambil duduk-duduk santai lesehan tanpa tikar di trotoar. Saya merasa bahagia dan tenteram menantikan kabar dari Sontoloyowati tentang nembus atau blong-nya kupon mimpi saya. Dan saya juga merasa nikmat menantikan sedikit demi sedikit akik saya yang kian berbentuk, walau saya tahu nantinya cuma akan sebesar sebutir beras Rajalele, dan yang kelak akan saya telan bersama nasi ransum makan siang yang secara tidak ajeg (karena mungkin harus bergerilya) diantarkan oleh ibu saya tercinta ke pinggir jalan ini.
Pada setiap pengunjung jalan ini, terlebih kepada mereka yang sudah mau terbungkuk-bungkuk menongkrongi gundukan kerikil, saya akan bercerita pada mereka bahwa pada saat ini saya sungguh-sungguh merasa menjadi manusia purba yang sangat bahagia. Sangat bahagia …. ***
Purworejo, 1992

Cerita Pendek ini memenangi lomba penulisan cerpen FPBS IKIP Muhammadiyah Purworejo 1992

Catatan:
gethok tular = cara penyampaian informasi dari mulut ke mulut
ngelokro = lunglai putus asa