Ketika untuk
yang kesekian kalinya kuterima surat darinya, aku sulit untuk memutuskan akan
tersenyum ataukah menangis. (Duh, sebagai lelaki yang dinobatkan lelananging jagat malu rasanya kalau
harus menangis). Tapi yang jelas aku lalu duduk terpuruk di atas batu entah
untuk berapa lama. (Dan waktu yang tidak sebentar itu dimanfaatkan oleh para
punakawan untuk gojekan). Padahal
surat itu isinya biasa saja, tak ada yang istimewa. Yang istimewa mungkin
saatnya. (Ah, mungkin juga bukan, aku akhir-akhir ini terlalu memanjakan
perasaan). Dalam surat itu ia menuduhku terlalu pendiam, terutama dalam kencan
kemarin. Ia katakan aku tak banyak omong, terlalu hati-hati, terlalu dingin dan
kering dan gersang, pokoknya menurutnya aku sangat menyebalkan.
Rasanya aku tidak seperti yang dituduhkan. Aku
biasa-biasa saja. Biasa seperti ketika hatiku sedang berbunga-bunga dibuai
cinta. Tapi mungkin yang dimaksudkan dengan ‘pendiam’ tidak sesederhana itu.
Yang dimaksudkan dengan ‘tidak banyak omong’ tidak senaif sangkaanku. Bila pendiam
di sini maksudnya sama dengan anteng-nya
Kangmas Puntadewa dan banyak omong di sini maksudnya sama dengan micara-nya
Dimas Sadewa tentu itu salah besar. Ia sudah bicara tentang hal-hal yang lebih
menukik.
Omongan yang diinginkan adalah omongan yang romantis.
Dengan kata lain aku diharapkan banyak omong tentang asmara, tentang urip bebrayan, tentang masa depan …
pokoknya tentang yang serba mendayu-dayu, yang mengisyaratkan kejelasan (atau
mungkin ketegasan) mengenai hubunganku dengannya. Atau dengan kalimat yang
lebih lugas, mengapa pada saat yang tepat itu, saat kami berduaan di taman
dengan background bulan yang segede tampah, aku kok diam
saja, kok tidak bilang, “Sinar, aku
cinta padamu,” setelah terlebih dulu aku menyanjungnya setinggi langit.
Memang aku memujanya, dan rasanya sudah selayaknya aku
menyanjungnya. Aku tidak berlebih-lebihan bila lakukan itu.
Berbeda dengan Sembadra, istriku, Sinar berasal dari
kalangan rakyat biasa. Ayahnya buruh pabrik rokok sedang ibunya momong adik-adiknya sambil mengupas buah
melinjo. Dengan latar belakang seperti itu jangan salahkan aku kalau aku
mengagumi tekatnya untuk menguasai teknologi informatika generasi mutakhir. Dan
ia telah buktikan. Ia memang jago kumputer meski perempuan. (Ini bukan
merendahkan ibu manusia, aku sekadar menghubungkan kata ‘jago’ dan
‘perempuan’). Ia lulusan PTN ternama dengan IP yang mendekati 4. Dan setelah
aku uji ternyata kemampuannya memang luar biasa. Luar biasa karena ia berasal
dari rakyat kebanyakan. (Ini bukan merendahkan rakyat biasa, aku sekadar
menghubungkan kata ‘rakyat kebanyakan’ dan kesangsian Socrates pada demokrasi).
Sinar sendiri adalah nama yang punya latar sangat
istimewa. Sinar adalah nama yang kukarang sendiri, setelah sebelumnya kudaki
Merapi dan merenung berjam-jam di puncaknya sambil mengunyah supermie mentah.
Sinar adalah akronim dari Sinta Indah Arditiningtyas, nama yang sebetulnya
terlalu mentereng untuk anak pidak
pedarakan. Nama itu menurutnya memang terlalu tinggi melangit. Sangat tidak
sesuai dengan keadaannya yang senantiasa merangkak-rangkak belepotan lumpur
comberan di bumi manusia yang penuh onak duri ini, begitu tuturnya padaku
ketika itu. Maka ketika namanya kuganti Sinar, ia sangat senang dan
berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Mengenai kesesuaian nama Sinar dengan penampilan
lahiriahnya sebetulnya ada seabrek yang ingin kuceritakan, tapi terus terang
saja aku khawatir orang bakal iri dengan keberuntunganku, atau kemungkinan lain
orang bakal muak.
Bisa muak karena menurut orang yang memang tidak bisa
dan biasa menikmati hidup, kelakuanku selalu tidak bisa dijadikan teladan yang
baik. Sudah punya istri kok masih
suka pacaran. Dan pacaran dengan anak buah sendiri sering kali mengundang
cibiran orang. Tapi itulah yang membuat hidupku lebih bergairah. Tanpa itu
hidup ini rasanya seperti menantikan saat dikubur saja.
Surat dari Sinar yang telah lusuh (karena kuterima
saat aku sedang melahap rendang jengkol menu kesayanganku dengan tangan tanpa
sendok) itu kupelototi lagi. Ya, Sinar memang tegas-tegas menyesali mengapa aku
terlalu pendiam tak banyak omong. Ah, Sinar yang mencahayai keremangan
semestaku, mengapa aku mesti banyak berkata-kata seperti yang telah kulakukan
pada sinar-sinarku yang terdahulu? Aku sudah enek, sungguh aku sudah jijik dengan bualan-bualanku sendiri, aku
tak lagi percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulutku.
Dulu, pada saat aku tertarik pada seorang gadis, dan
lalu kudekati dia, kuajak ngobrol, kucermati: masihkah ada kesempatan buatku,
kuajak kencan, dan seterusnya, dan seterusnya, semua itu sangat menggetarkanku.
Membuat hidupku lebih hidup. Ada geletar kekhawatiran. Ada debar penantian. Aku
jadi paham betul mengapa banyak orang butuh berjudi, meski secara intelektual
dan ekonomis ia sudah lebih dari memadai. Geletar dan debar itu agaknya yang
diburu.
Tapi kini geletar dan debar itu sudah tidak ada lagi.
Merayu untukku jadi hal yang lucu. Menipu istri sudah tidak lagi bikin risi.
Mengendap-endap pulang di tengah malam sudah tidak sedap lagi. Menyiasati
punakawan yang usil sudah terlalu sering berhasil. Sungguh beda!
Aku mendambakan Sinar dapat mencecap dan menyerap
pancaran cinta tulusku dari diriku seutuhnya, diri ini, bukan dari mulut ini
yang terkadang terlalu gampang untuk mencang-mencong
menggoyang busa yang menyembul dari sudut kanan-kirinya. Akan terlalu prosais, kuno, kampungan, apabila aku
sampai mengatakan, “Sinar, aku cinta padamu.” Ya, karena ia adalah sinarku yang
sekarang, pada saat usiaku menjelang empat puluh tahun. Sudah bukan Permadi
lagi tapi Arjuna. Sudah bukan Mas lagi tapi Oom atau Pak.
Ah, kalau Sinar tahu jalan pikiranku ini pasti ia akan
menimpakan tuduhan baru padaku: Kangmas Arjuna telah sakit jiwa! Tidak Diajeng,
aku tidak sakit jiwa. Apa yang ada di benakku ini kuperoleh dengan susah payah,
dengan rentang waktu yang panjang. Kau perlu tahu aku sudah mulai mengenal
cinta sejak kelas lima SD, jatuh cinta pada kelas satu SMP, dan punya pacar
pada kelas dua SMA, gonta-ganti pacar pada saat menjadi mahasiswa
semester-semester awal, menikah pada semester enam, mulai punya pacar lagi
setelah lulus S1 dan mapan bekerja, dan … ah, perjalanan cintaku panjang
berkelok berliku. (Dan beberapa sahabatku bilang: Jun, terlalu banyak
kemubaziran dalam hidupmu!)
Pernah kucoba mengerti kegundahanmu. Mungkinkah
percintaan berlangsung tanpa ada kata cinta terucap? Mungkinkah percintaan
terjadi tanpa ada bayangan untuk membangun rumah tangga? Mungkinkah percintaan
berawal tidak dari kekaguman pada keelokan paras dan keluhuran budi tapi
sekedar rasa bosan dengan apa yang sudah dimiliki? Dan aku tahu untukmu itu
tidak mungkin.
Aku sudah beristri, dia tahu itu. Aku punya banyak
pacar, dia tahu itu. Aku tidak akan menceraikan istriku, dia tahu itu. Ah, apa
yang tidak dia tahu? Tapi mengapa dia mau kupacari? Baik, kalau kaukira aku
sudah gila. Kau pun kukira juga tidak seratus persen waras.
Denganmu yang kini ada sekitar dua belas kilometer
jauhnya dari tempatku duduk di sini, di batu ini, dengan para punakawan yang
sudah pada kepayahan dan tidur mendengkur (sejak pagi mereka kuminta melembur
pekerjaan untuk menyongsong tim reviewer besok pagi), aku akan bicara padamu
dengan batinku, bukan dengan mulutku, lidahku, pita suaraku, dan segala tetek
bengek speech organ yang kumiliki.
Maka, dengar, dengarlah Sinarku:
“Sinar dara
jelita pujaanku, kau bakal menjumpai kepercumaan apabila kau tetap bersikukuh
menanti kata-kata cinta dari mulutku. Aku tak mungkin mengatakan, ‘Sinar, aku
cinta padamu,’ tidak akan pernah. Itu kata-kata yang paling memuakkan karena
aku telah terlampau sering mengucapkannya. Kata-kata itu muncrat dari mulutku
lebih sering dikarenakan sesuatu yang ada sedikit di bawah perut daripada apa
yang ada agak jauh di atasnya.
“Aku mengharapkan kau tahu bahwa aku mencintaimu
dengan cara paling sejati, bukan tahu karena diberitahu oleh mulutku (yang
seringkali dengan sewenang-wenang menyemburkan aroma jengkol) bahwa aku
mencintaimu! Aku yakin kau bisa merasakan geletar perasaanku, dari sikap dan
perbuatanku, dari pancaran sinar mataku, dari hembusan napasku, dari detak
jantungku, dari … semua yang kupunya. (Ah, sahabatku pasti akan menyemprotku:
Jun, kau ini tidak punya apa-apa! Semua itu milik-Nya!)
“Bila kediamanku ini menjadikanmu ragu-ragu dan
kemudian kau ingin mengakhiri hubungan kita, kukira itu suatu yang sehat. Aku
sudah kenyang dengan perempuan, perempuan cap apa pun sudah pernah kucicipi.
Sedangkan kau? Ah, mungkin aku laki-laki pertama yang kaugauli. Memang cinta
pertama tampil sangat berbeda dengan cinta keseratus. Dan aku tidak lagi mampu
berpura-pura dan memainkan peranan sebagai jejaka ingusan yang sedang jatuh
cinta untuk yang pertama dan berharap untuk yang terakhir kalinya.
“Kau tahu bukan, Arjuna punya banyak istri. Dia juga
punya banyak pacar. Bahkan salah seorang pacarnya adalah Kakangmbok Banowati,
kau tahu dia siapa? Dia adalah istri Direktur Utama perusahaan saingan kita.
Aku memang mungkin sakit jiwa. Tapi mudah-mudahan aku tidak jahat. Bukankah
perkawinan mereka jauh dari bahagia? (Sahabatku akan meradang: Jun, itu bukan
urusanmu! Kau urus saja dirimu sendiri! Berapa kali kau megap-megap didamprat
istri dan pacarmu?). Ya, aku akan menikmati perselingkuhan apabila
selingkuhanku juga menikmatinya. Dan kurasa kau tidak menikmatinya. Kau ingin
memiliku seratus persen dengan (aku sungguh khawatir) menceraikan istriku. Itu
aku tidak bisa.
“Untuk itu aku ucapkan selamat, kau tahu sekarang
keadaanmu. Kita memang sebaiknya berpisah. Kau gadis cerdas yang dinamis. Kau
bisa hebat tanpa harus mendompleng kehebatanku (kau dulu yang bilang kalau aku
hebat, ‘kan?). Kau bisa berjaya tanpa harus depe-depe
masuk dalam keluarga Pandawa (kau dulu yang bilang kalau keluarga Pandawa
hebat, ‘kan?) terlebih dulu. Kau pintar dan punya visi dan ambisi. Kau pasti
bisa, percayalah!”
* *
*
Saya, salah seorang anak buah Pak
Arjuna, dengan ini bersaksi bahwa saya masih sering melihat beliau dan Sinar
pacaran. Menurut Gareng, beliau itu begitu karena memang tidak punya cita-cita
yang perjuangkannya, makanya beliau lebih suka bersibuk-ria dengan
cewek-ceweknya dan ngurusi segala tetek-bengeknya. Dan menurut Petruk, Sinar
itu terlalu ambisius. (Ambisius itu baik, tapi segala yang keterlaluan memang
tidak baik). Dia ingin menjadi permaisuri tanpa mau mendengarkan bisik nurani. Romo Semar sudah memprediksi
bahwa apa yang akan terjadi nanti adalah kesia-siaan. Ah, bahagianya orang yang
memperjuangkan kebaikan dan mau mendengar bisik kelesik nuraninya … ***
Purworejo, Maret 1991