TANTE SUN



Omong kosong tentang Tante Sun kembali bikin warga kampung Kuncen – sebuah kampung terpencil di lembah kali Bogowonto – jadi makin membengongkan orang-orang, terutama warga yang otaknya kosong melompong karena memang ogah diisi apa pun. Cerita legendaris yang telah kondang sejak zamannya para simbah-buyut dahulu kembali aktual setelah kejadian malam Jumat Kliwon lalu: Basori yang selama ini dikenal sebagai pemuda pemberani dan malah kadang juga ugal-ugalan, digotong rame-rame ke Puskesmas terdekat karena ditemukan pingsan ngablah-ablah di bak sampah. Yang bikin Basori melolong-lolong dan terkencing-kencing dan kemudian kelenger dan sampai saat ini masih suka lenger-lenger itu tidak lain tidak bukan adalah apa yang disebut orang Sundelbolong – yang aku sendiri dan teman-teman lebih suka menamakannya Tante Sun.

Aku cuma senyum-senyum saja ketika orang riuh berbincang tumpang tindih tak keruan tentang Tante Sun ketika mereka hadir dalam rapat pembentukan panitia agustusan di rumah Ketua RT.
“Basori bilang, tampangnya kayak Mbak Menik almarhumah yang tahun lalu mati nenggak Baygon,” kata Agus seraya menyeruput teh manisnya. Basori yang duduk di luar yang agaknya menjadi “bintang” pada saat itu mengangguk mantap pada saat orang-orang melihat ke arahnya minta penegasan.
“Nenggak atau nelan, sih? Masak Bunglon kok ditenggak?” tanya Budin yang jadi agak tuli sejak kena tempeleng kondektur bus karena terlalu sering naik bus tanpa bayar.
     “Nelan Bunglon dengkulmu!” yang lagi nelan kue lemper melengking dari arah pojok.
“Ee ndak percaya, lha wong saya tanya sendiri sama simboknya Menik ….” Budin mendelik ke arah lengkingan cempreng berasal.
Mendengar perbincangan yang amat tidak bermutu itu aku tak kuat untuk terus mengunyah emping.
“Sudah! Sudah! Begini saja, siapa di antara sampean yang bersedia kuajak menangkap Tante Sun, maksudku Sundelbolong itu?”
Seperti yang telah kuduga, mereka semua dengan takjub memandang ke arahku. Kudengar suara orang tersedak makanan. Juga kudengar suara gelas terguling. Barangkali saking terkejutnya oleh tantanganku.
Sampean yang barusan ngomong, Jok?” tanya salah seorang dari sekitar empat puluh tamu undangan. Sudah kuduga mereka pasti meragukan ucapanku, bahkan mungkin ada yang menganggapku tidur dan ngelindur.
“Benar, aku. Bagaimana? Mau kuajak?”
“Jangan bercanda sama orang-orang tua kayak pakdemu ini, Jok.” Pakde Giman memasang wajah serius.
“Aku tidak guyonan, Pakde. Percayalah, jika aku sampai gagal membuktikan ucapanku, jangan lagi aku dipanggil Joko Prakoso  … panggil aku dengan nama apa saja yang bisa melegakan kejengkelan Pakde!” ujarku pada Pakde Giman, yang sebenarnya ucapanku itu lebih kutujukan pada seluruh tamu undangan tak terkecuali. Cuping hidungku kembang kempis, ada gelegak di dalam dada yang memompa jantungku berdetak lebih cepat.
Sampean ndak ketempelan dhemit to, Jok?” tanya suara sember dari pojok dekat pintu, suara yang keluar dari mulut penuh makanan yang belum sempat ditelan.
“Mungkin yang dimaksud Joko itu adalah cewek sundal yang suka mejeng di pinggir jalan dekat terminal,” Mas Yanto yang duduk di depanku memberi komentar sambil kipas-kipas pakai kupluknya yang tengiknya minta ampun, yang membuat orang-orang yang duduk di kanan-kirinya beringsut gelisah.
“Oo … begitu … he he he,” Agus tertawa cekikikan, kemudian diikuti yang lainnya. Ya, para hadirin semua, setelah terlebih dulu berpandangan satu sama lain, ikut-ikutan tertawa. Beginilah, menghadapi para Kurawa ini memang butuh jiwa besar,  makanya aku sabar-sabarkan.
“Aku tidak ketempelan ataupun bercanda … aku akan mengundurkan diri sebagai ketua Karang Taruna jika ternyata aku nanti gagal membuktikan ucapanku, gagal membekuk Tante Sun,” aku yang sudah empat kali berturut-turut menduduki jabatan cukup bergengsi itu merasa perlu menggertak. Dan masih banyak lagi kata-kata dengan nada tinggi kusemburkan yang kuyakini bisa menyepak sejauhnya kesangsian dari dada mereka yang sarat dengan cerita-cerita takhayul, gugon-tuhon, dan yang semacamnya … sampai-sampai aku harus menyeka busa yang menyembul di kanan-kiri mulutku.
Mereka kembali bungkam. Diam membisu seperti asbak-asbak di atas tikar di mana kami duduk sejak sejam yang lalu. Kupandangi satu persatu wajah-wajah kosong melompong yang terbengong-bengong.
“Aku hanya butuh saksi. Saksi mata pada keberhasilanku membekuk lalu menyeret Tante Sun yang sampean takuti itu. Untuk itulah aku ingin beberapa orang mau menyertaiku.”
Mereka kembali berpandangan satu sama lain, sampai akhirnya aku tak sabar, “Apakah aku harus mengajak cewek-cewek kencur atau bocah-bocah ingusan sebagai saksi?” ujarku dengan nada kuupayakan sesinis mungkin. Tapi sungguh sama sekali tak ada maksudku untuk menghina, hanya sekadar ingin membakar nyali-nyali yang sudah terlanjur beku membatu diracuni dongeng-dongeng para simbah-buyut yang tak bertanggung jawab. Dan hasilnya segera tampak. Anang yang kecil dan ceking kayak walang sangit membusungkan dadanya yang setipis triplek murahan:
 “Aku berani, Jok!” teriaknya.
“Aku dan Basori juga ikut!” Agus yang duduk di sebelah kanan Mas Yanto yang masih kipas-kipas pakai kupluknya memberitahuku sambil menutup kedua lubang hidungnya.
“Bagus, ada tiga orang, Anang, Agus, dan Basori. Ada Lagi? Tidak ada? Baiklah, tiga orang sudah cukup untuk menjadi saksi. Soalnya kalau langsung kukatakan bahwa akulah yang telah menangkap Tante Sun, tentu sampean tidak bakalan percaya begitu saja, ‘kan?” Kalau cuma tidak percaya itu tidak mengapa, tapi kalau mereka sampai mencibir lalu menertawaiku itu bisa bikin panas di hati yang ujung-ujungnya bisa memecah belah kerukunan, persatuan bisa berubah perseteruan. Itulah mengapa aku merasa tidak perlu menceritakan pada mereka bahwa aku sebenarnya sudah pernah menangkap Tante Sun penghuni pohon Trembesi itu.
“Besok malam kalian bertiga kutunggu di gardu siskamling … waktunya ba’dal Isya’”
Sekembalinya dari rumah Pak Sahro, ketua RT, setelah acara pembentukan panitia agustusan rampung, aku asyik membayangkan betapa akan gegernya warga Kuncen dengan hasil tindakanku besok. Dan tentu mereka semua akan menatapku penuh kekaguman. Bagaimana tidak? Basori yang terkenal pemberani dan berandalan saja tunggang langgang!
Pohon Trembesi yang dari kejauhan seperti bukit hijau yang menjulang di tengah perkampungan, pohon Trembesi yang ketika almarhum simbah-buyutku masih balita sudah segede sekarang, memang diakui oleh siapa pun mampu menciutkan nyali siapa saja yang lewat di bawah rimbun dedaunannya … lebih-lebih saat kelam datang menjelang.
Tidak cuma sekali aku tertawa sendirian saat membayangkan Basori yang tampang dan penampilannya mirip petinju Mike Tyson lari tunggang langgang sampai kecemplung WC umum alias parit satu-satunya yang membelah kampung lalu dengan tenaga yang penghabisan bangkit dan meneruskan larinya menuju rumah tapi sebelum sampai rumah sudah jatuh pingsan kehabisan tenaga, telentang di bak sampah. Sungguh menggelikan! Tragicomico namanya!
Barangkali Basori lupa bahwa pada era global ini Tante Sun sudah harus tunduk pada pengarah acara atau sutradara. Tempatnya tidak lagi di pohon Trembesi atau pekuburan tapi di layar perak atau di layar kaca. Dia juga khilaf bahwa Tante Sun alergi pada bau bensin dan bau asap knalpot yang berasal dari jalan tembus dekat makam Kuncen yang setahun lalu sudah mulai difungsikan. Yang paling disayangkan Basori tidak ingat akan kebiasaan Mbah Ginah, yang selalu lewat jalan itu, yang selalu enggan menanggalkan mukenanya tiap pulang dari sholat Isya di musholla.
Pohon yang kelewat kekar juga batu yang terlalu besar atau apa saja yang luar dari biasanya selalu dianggap keramat dan selalu mengundang kesan beraneka dan cerita beragam … ada yang mengklaim pernah mendengar suara nyekakak atau nyikikik atau nyekekek, atau suara perempuan merintih sedih, meratap memilukan, dan … dan macam-macamlah!
Nah, inilah hebatnya diri ini. Ketika banyak orang menghindari pohon Trembesi dan berpantang lewat di bawahnya karena makin santernya desas-desus terdengarnya suara tangis perempuan menyayat-nyayat hati siapa pun yang mendengarnya, aku justru mendatangi tempat itu dan menangkap sang dalang kericuhan. Sayangnya waktu itu tidak ada saksi yang melihat keberanianku menangkap sumber ketakutan yang bikin perawan-perawan kampungku enggan pergi mengaji di langgar Pak Sahro. Keengganan itu cukup beralasan karena kalau tidak melewati pohon Trembesi, mereka akan harus melintas terlalu jauh, menempuh jarak  dua kali lebih jauh.
*     *     *
Pada malam yang telah disepakati bersama, aku menantikan kedatangan Agus, Anang, dan Basori. Kulirik arlojiku. Sudah satu jam lebih aku menongkrongi gardu siskamling. Mereka yang kemarin sudah menyanggupi untuk jadi saksi belum tampak batang hidungnya. Jangan-jangan mereka lupa, ataukah … ah, mudah-mudahan nyalinya tidak jadi mengkeret. Sayang kalau batal.
Malam tidak gulita. Bulan yang bulat di atas, meskipun tidak purnama, dapat memperjelas mana jalan bertanah keras dan kering dan mana jalan bertanah becek dan licin, juga nantinya dapat memperjelas apa-apa yang hendak kuperbuat pada Tante Sun.
Kulumatkan nyamuk-nyamuk buncit yang dengan rakus menggerumuti kaki. Baru setelah sekitar tiga puluh menit tanganku teplak-teplok membantai nyamuk, tampaklah keledang Anang di kejauhan.
Sorry banget Jok, terlambat. Sudah capek-capek nunggu ternyata Agus tidak jadi ikut, katanya maag-nya kambuh. Asem tenan! mudah-mudahan makin parah. Juga Basori balik pulang lagi, katanya mau ambil jimatnya yang ketinggalan. Kecut tenan! mudah-mudahan tidak ketemu. Oh … itu dia!” Anang menunjuk dengan dagu runcingnya.
“Hai … kukira mundur teratur,” sapaku pada sosok hitam jelek tapi punya semangat tinggi menggodai gadis-gadis kampung saat mereka berangkat dan pulang mengaji.
“Maju tak benar membela yang gentar!” jawab Basori, memelesetkan ucapan seorang tokoh terkenal, memperlihatkan gigi depannya yang sempal kena upper cut penjaga pasar malam waktu melawan saat ketahuan menyerobot masuk tanpa karcis.
“Masih sering lenger-lenger?” tanyaku bercanda.
“Mas Joko ini … bikin kemaluanku tambah besar saja,” wajahnya  nyengir menyembunyikan kemaluannya.
“Sudah mantap betul, Bas?”
“Bulatku sudah tekad,” jawabnya.
“Kalau begitu sebelumnya harap qolbumu dimenej dengan baik” aku jadi ikut-ikutan kepleset.
“Temtu temtu, aken saya perhatiken usulan daripada sudara.”
“Sudara gegermu amoh!” umpatku sambil kuangkat pantat yang sudah terasa pegal panas oleh kerasnya papan kayu gardu ronda. Kami pun lalu berangkat. Berjalan dengan lebih banyak diam.
Basori dengan langkah mantap layaknya seorang inspektur upacara berjalan paling depan. Lalu Anang yang membawa lampu senter berbatere tiga di belakangnya. Kemudian aku yang paling belakang. Dari jauh pasti mirip tiga petani yang berjalan beriringan di pematang sawah.
Tak terasa makin dekatlah jarak menuju ke pohon Trembesi. Pada jarak tiga ratus meter dari pohon, langkah Basori menyurut, makin pendek-pendek dan pelan, maka tak lama kemudian ia sudah ada di samping Anang. Mereka berdua berjalan berdempetan dengan bahu bersinggungan. Pada jarak seratus meter dari pohon, Anang dan Basori mendadak berhenti. Ragu-ragu sesaat. Lalu berjalan lagi setelah  aku menyalip dan melangkah di depan mereka. Aku pun berjalan paling depan. Kalau tidak gelap pasti dapat kulihat mata mereka yang jelalatan gelisah dan tangan mereka yang saling belit kayak belut.
Sosok pohon Trembesi itu makin jelas. Kekar dan tegar yang mengundang debar, juga makin tampak bunder dan angker yang  bikin keder. Untung aku hobi nonton film thriller yang diangkat dari novelnya Stephen King, jadinya bulu kudukku ya duduk-duduk manis saja tidak siap grak berdiri.
Seandainya mereka tahu siapa yang sehabis Isya’ merintih memilukan, mereka pasti akan mengumpati kepengecutannya dan menyumpahi kekerdilan nyalinya.
Pada jarak sekitar sepuluh meter dari batang pohon, kuhentikan langkah. Kutajamkan pandangan dan pendengaran. Tak kulihat dan kudengar sesuatu yang istimewa. Iseng-iseng kutengok Anang dan Basori yang berdiri jauh di belakang. Ingin tertawa rasanya melihat mereka berdiri berpelukan.
“Hoii … ke sini! Kalian harus melihat dengan jelas bagaimana aku menangkap Tante Sun,” teriakku pada mereka yang tak bergerak.  Dan mendengar suaraku yang kubuat penuh semangat juang, mereka tampak beringsut  maju. Syukurlah.  Biasanya pada saat-saat seperti sekarang ini, Tante Sun sudah memperdengarkan rintihan erotisnya. Tapi tumben kali ini kok adem-ayem saja.
Ya, ketika itu aku menangkap Tante Sun pada jam-jam begini. Saat itu yang pertama kali kulihat adalah sorot matanya yang mencorong dari balik kegelapan malam memantulkan berkas cahaya lampu senter. Dengan berpedoman pada sorot mata dan suara rintihannya aku akhirnya berhasil mencekal tengkuknya dengan tangan kiri, sedang tangan kanan meraup kedua anaknya yang belum bisa melek. Setelah kupikir-pikir tak ada faedahnya membawa kucing pulang, karena sudah punya dua di rumah, si kembang asem beserta cemeng-nya itu kulepaskan lagi di bawah pohon Trembesi.
Aku waktu itu sungguh merasa bodoh dan menyesal kenapa akan menangkap kucing saja sampai berdiri bulu kudukku. Harus kuakui akan adanya sedikit kekhawatiran tentang dugaanku yang bisa keliru: seandainya bukan suara kucing tapi benar-benar suara demit lalu bagaimana?  Maka memang sebaiknya aku tidak perlu terlalu merendahkan teman-temanku yang begitu ketakutan pada Tante Sun.
“Kalian boleh tunggu di situ. Akan kucarinya sendiri. Nang, pinjam sentermu,” kuhampiri Anang yang memegang lampu senter dengan kencang. Dan baru beberapa langkah aku mendekati Anang,  kulihat tiba-tiba matanya melotot nyalang dan mulutnya menganga tegang.
“Itu … itu … dia …!” tangan kiri Anang menuding-nuding gemetar ke arah pohon Trembesi. Basori yang ada di sampingnya begitu terkejutnya sampai jatuh terduduk. Aku pun secara refleks berbalik ke arah mana telunjuk Anang menuding. Dan dapat kulihat dengan cukup jelas dari balik pohon Trembesi yang mampu menyembunyikan selusin orang dewasa itu di baliknya muncul perwujudan yang mengerikan. Sungguh merupakan pemandangan yang sama sekali tak kuduga sebelumnya ….
Jelas itu bukan kucing juga bukan Mbah Ginah. Tapi barangkali itu memang Mbak Menik – gadis manis yang mati bunuh diri menenggak racun serangga karena ditinggal minggat pacarnya dalam keadaan hamil empat bulan –  yang jadi sundelbolong. Aku terkesima tak mampu bergerak. Bahkan mengejapkan mata pun tak kuasa.
Sosok mengerikan seperti segundukan kapuk randu yang di bagian atasnya membelah dan menyembul wajah menyeringai menakutkan itu bergerak pelan namun pasti. Mendekat … dan makin dekat … Dan dari sudut mata masih dapat kulihat Anang tertelentang kaku di tanah. Lampu senter yang biasa untuk mbedil kalong itu  terpental dan tersangkut di semak belukar dalam keadaan menyala. Dan masih dapat kulihat Basori yang jatuh terduduk. Dari cahaya lampu senter yang kebetulan menerpa wajahnya dapat kulihat matanya terpejam dan mulutnya yang lebar komat-kamit. Tangannya menggagap gugup merogoh saku jaket bututnya. Kemudian kulihat ada buntalan putih yang digenggam. Lalu dengan gerak kaku dilemparkan benda sebesar buah sawo itu ke arah sosok mengerikan itu. Dan … kudengar suara lengkingan … bukan teriakan mengerikan tapi teriakan kesakitan!
*     *     *
“Kenapa harus menyaru jadi sundelbolong segala … yang ketakutan bukan hanya Basori tapi juga perempuan-perempuan yang katamu kaubela kaulindungi dari gangguannya …” Pak Sahro memandang kami satu persatu bergantian dengan senyumnya yang khas, senyum yang bisa bikin hati mendidih jadi tenang tanpa buih.
Di pintu langgar orang berdesak-desakan ingin melihat Agus yang diperban kepalanya. Agaknya pendarahan di kepalanya belum berhenti … ada sebagian yang masih mengalir menodai bedak ekstra tebal di mukanya. Mungkin luka itu mestinya dijahit.
“Jika kau ingin agar Basori tidak mengganggu perawan-perawan yang berangkat mengaji, tidak begitu caranya,” Pak RT yang sekaligus Pak Kyai itu menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan pelahan, “Kalau saja aku tahu yang menyundelbolongkan diri itu kau, Agus, tentu  Basori  tidak akan kuberi batu kali yang kubungkus kain mori yang lalu kukatakan padanya itu adalah jimat bertuah pembasmi setan gentayangan. Kukira yang jadi hantu itu penjahat atau orang tidak waras yang sengaja mengganggu ketenteraman di kampung kita agar orang-orang malas ronda lalu dia leluasa menyikat apa yang dia inginkan.”
Basori menengadah ke langit-langit dengan tatapan kosong. Anang menunduk ke arah karpet hijau dengan tatapan bingung. Aku sendiri memandang ke kejauhan dengan tak menatap apa pun, sungguh malu diri ini melihat orang-orang yang pasti mengira akulah yang berhasil menangkap “Tante Sun” itu.
“Joko, Basori, dan Anang … kalian sekarang ini sudah banyak berubah,” Pak Sahro mengelap tangannya yang ternoda darah, “ … tidak seperti tiga-empat tahun lalu …” Ya, aku paham apa yang beliau maksud. Sewaktu kami bertiga masih duduk di bangku sekolah dasar, hampir setiap hari kami shalat jamaah dan mengaji tiap menjelang Isya di langgar. Begitu di SMP aku sudah tidak serajin dulu lagi. Dan ketika di SMA, hanya hari Kamis malam aku  sholat Isya berjamaah. Lulus dari SMA, hampir tak pernah kuinjakkan kakiku di langgar. Kuakui sekarang aku makin sulit untuk bisa berendah hati …. ***
Purworejo, 1989

Cerita Pendek ini dimuat di majalah “Humor” 1989