Dulu, ketika
aku pertama kali lewat di gang itu, di antara dua temboknya yang terkelupas tak
terawat, terpampang tulisan rapi dengan huruf balok berwarna hitam: ‘dilarang kencing di sini’. Memang hanya
orang jempolan sajalah yang berani melewati gang itu. Berani di sini artinya
siap untuk tidak bernapas, disebabkan bau di situ yang memang luar biasa
pesing.
Beberapa hari kemudian, ketika aku kembali terpaksa
lewat di situ, di ujung tulisan larangan itu sudah ada tambahan kata ‘awas’. Kata ‘awas’ itu tampaknya ditulis dengan tergesa. Ketergesaannya itu
terlihat jelas dari leleran catnya yang mengalir memanjang ke bawah. Dan karena
tambahan itu ditulis dengan cat warna merah tua, maka kesannya jadi menyeramkan
… mirip judul pada film horor. Tiga atau empat hari setelahnya, pada saat aku
kembali lewat di situ, ada tambahan dua patah kata lagi di buntutnya, ‘kecuali anjing’.
Memang aku harus terus terpaksa berjalan lewat di gang
itu, baik pada waktu berangkat ngantor
maupun pulangnya. Kalau tidak melalui gang itu aku akan memutar terlalu jauh.
Kupikir lebih baik setengah menit menahan napas daripada berjalan memutar yang
bisa menggerogoti hampir seperempat jam waktuku. Tapi ada juga keuntungan yang
kudapat disebabkan seringnya lewat gang itu: aku jadi tahu persis perkembangan
tulisan di dindingnya.
Hari berikutnya lagi, ketika aku kembali merambahi
gang itu, aku menjumpai lagi adanya tambahan yang kali ini tampaknya ditulis
dengan emosi yang meluap-luap, ‘kalau
nekat benjut’, dan tulisan larangan: ‘awas
dilarang kencing di sini kecuali anjing kalau nekat benjut’ itu agaknya
merupakan karya puncak penulisnya, karena setelah itu lama tidak kulihat adanya
tambahan lagi. Meskipun tulisan itu telah mengalami perubahan beberapa kali,
akan tetapi mengenai bau pesing masih tetap saja, tanpa perubahan. Tetap saja
bikin napas sesak dan perut mual.
Aneh juga sebetulnya, betapa tidak, aku kok berdebar-debar menantikan
perkembangan berikutnya tulisan di tembok itu. Entahlah, aku memang lalu punya
semacam rasa penasaran yang mengharuskanku untuk selalu melirik tulisan di
tembok bobrok itu setiap kali melewatinya.
Setelah lebih dari tiga minggu, akhirnya terjadilah
juga perubahan yang kunantikan itu. Dan perubahan itu sama sekali di luar
dugaanku. Kalau semula aku mengira perubahan yang bakal terjadi lebih
menyeramkan lagi baik dari bentuk tulisan maupun isinya, tapi kenyataannya
justru sebaliknya. Keseraman gang itu seolah menguap lenyap bersamaan dengan
berubahnya warna tembok. Ya, tembok yang semula dekil itu sudah dikerok dan dikapur
putih bersih, dan tulisan yang kemudian terpampang pun cukup rapi dan
bersahabat dan nyeni: ‘jangan kencing di sini dong friend’.
Tembok di gang itu memang tak bisa terlalu disalahkan
kalau mengundang banyak manusia untuk mengguyurkan air kencingnya di situ.
Tempatnya yang “strategis” karena agak terisolir adalah salah satu sebab
mengapa banyak yang berkenan memanfaatkan tempat itu. Sering aku melihat para
pemulung ramai-ramai kencing di situ, juga para tukang becak dan tak
ketinggalan para sopir plus kernetnya. Pernah suatu ketika aku memergoki seregu
pasukan gerak jalan tengah berdiri berjajar kencing bareng-bareng sambil
berhahahihi di situ. Bahkan tidak jarang aku melihat seorang cewek cakep
berjilbab, yang menilik dari jaket yang dikenakan bisa dipastikan seorang
mahasiswi, sedang berdiri sambil menutup hidung dengan sapu tangan di dekat
gang itu. Ternyata dia sedang menunggui cowok dengan jaket serupa yang tengah
kencing di gang itu. Ya, walau gang itu terletak di jantung kota, selain sangat lengang, gang itu dirimbuni pohon pisang serta semak
belukar.
Mengenai pohon pisang yang tumbuh lebat di situ aku
juga tak habis pikir. Pohon-pohon itu telah kulihat berkali-kali berbuah. Dari
buahnya aku tahu pohon pisang itu jenis kapok kuning yang paling banyak
diminati orang. (Pernah dengar istilah ‘laris bak pisang goreng’?). Tapi sampai
buahnya itu cerai berai berceceran di tanah karena ulah kalong atau kampret, tak pernah kulihat tanda-tanda
orang mengambil buahnya atau menebang pohonnya. Pisang-pisang itu dibiarkan
mubazir membusuk di atas pohon atau terjelempah di tanah. Apakah tanah di mana
tembok dan pohon pisang itu berada tak bertuan? Ataukah tuan tanahnya juga
jijik dengan bau pesing yang bersimaharajalela di situ? Kalau kugagas-gagas,
kejijikan itu memang sudah semestinya. Kukira pohon-pohon itu bisa tumbuh subur
dan berbuah lebat disebabkan kesenantiasaannya tersirami berliter-liter air
kencing setiap harinya.
Beberapa hari kemudian, tulisan di tembok itu sudah
berubah lagi. Tulisan sebelumnya dihilangkan dengan cara diampelas dan dikapur
hingga putih bersih, diganti tulisan baru yang berbunyi: ‘jika Anda mau buang air kecil janganlah di sini’. Kalimat tersebut
ditulis dengan huruf-huruf mriyayeni
yang mengingatkanku pada bentuk huruf di undangan resepsi pernikahan. Duh,
betapa kasihannya sang penulis, lebih-lebih bila tulisan-tulisan itu ternyata
dibuat oleh orang yang sama.
Meskipun sudah berkali-kali tulisan larangan itu
mengalami revisi, tapi mengenai bau pesingnya tetap saja. Sekali pesing tetap
pesing. Aku jadi benar-benar jatuh iba pada orang yang telah begitu bersusah
payah menulisi larangan-larangan itu. Dan tulisan larangan terakhir yang kubaca
sudah lebih mengharukan lagi, yaitu: ‘mohon
dengan hormat lagi sangat agar Anda tidak buang air kecil di sini, atas
kesadarannya kami ucapkan terima kasih’, dan kalimat panjang itu
betul-betul merupakan tulisan penghabisan, setelah itu aku tak menjumpai adanya
perubahan lagi. Dan mengenai bau pesing masih juga jas buka iket blangkon alias sama
juga sami mawon.
Beberapa minggu kemudian, aku, yang sudah menjadi
seorang tulisan-larangan mania, sungguh kecewa berat. Bagaimana tidak, tulisan
itu sudah raib tertutup sebuah bangunan semi permanen yang bila dilihat dari
arsitekturnya agaknya hendak difungsikan sebagai rurung (rumah merangkap
warung). Beberapa hari setelah rurung pioner itu berdiri, bermunculanlah
rurung-rurung lain yang serupa. Rurung-rurung itu dari kejauhan seperti
burung-burung nuri, meski kecil dan beratap rendah tapi bentuknya serasi dengan
cat berwarna-warni yang mengilat dan memikat. Rurung itu jadi tampak higienis
dan trendi.
Bermunculannya rurung-rurung yang cukup mengagetkanku
itu telah memaksaku untuk mampir sebentar ketika hendak berangkat ngantor. Ternyata semua rurung, yang
jumlahnya setelah kuhitung pas tiga belas yang konon merupakan angka sial,
tertutup rapat. Sangat rapat. Tapi dengan kegigihan dan sedikit kenekatan,
dengan memanjat dan bergelantungan kayak Spiderman, akhirnya aku tahu juga isi
rurung-rurung itu: hampir semuanya sarat dengan botol-botol yang beraneka ragam
bentuknya dan berbagai macam warnanya, botol yang berisi cairan yang bisa
membuncitkan perut dan kemudian menghanguskan segala jerohannya, botol yang
berisi minuman yang bisa memusingkan kepala dan kemudian melantakkan semua
sarafnya. Dan apa yang sudah berhasil kukorek itu semakin membuatku penasaran,
semakin membuatku ingin tahu lebih banyak.
Dugaanku bahwa rurung-rurung itu buka dasar-nya cuma saban malam menjelang ternyata benar adanya.
Itu sudah kubuktikan ketika kumanjakan rasa ingin tahuku untuk menyatroni gang
itu seusai shalat Isya. Dan memang begitulah, apabila kelam mulai bertahta,
justru di tempat yang dulunya pesing dan gelap dan sepi itu mulai
bersinggasanalah harum yang semerbak dan terang yang benderang dan hingar yang
bingar.
Aku hanya sempat menginspeksi lokasi nyalawadi itu dua kali. Yang pertama
sudah kuceritakan sedangkan yang kedua akan kuceritakan dengan lebih terinci.
Ketika untuk yang kedua kalinya aku keluyuran di
tempat aneh itu, sebelum aku melangkah memasuki gang itu, ada aroma wangi
menyergap hidungku. Aku pun langsung berhenti karena kudukku jadi menebal mengkorok. Tanpa sadar aku menoleh ke
kanan dan ke kiri, seperti kijang yang mencium bau macan. Dan aku pun
mengucak-ucak mataku seolah tak percaya dengan apa yang kulihat. Ya, di tembok
yang dulunya terdapat tulisan larangan itu sekarang berdiri berjajar dan
bergaya cewek-cewek dengan dandanan kayak dayang-dayang Kaisar Ming dalam film
Flash Gordon. Wajahnya hampir sama, pakaiannya mirip satu sama lain, dan
agaknya gerakannya pun tak berbeda. Aku berdiri tertegun. Aku seolah menjadi
salah satu figuran di sebuah film science
fiction.
Pada saat dalam kebingungan untuk menentukan mau terus
atau berbalik, salah satu dari cewek-cewek itu melangkah maju. Langkahnya yang
gemulai menggoyang pelan bagian-bagian tertentu tubuhnya, goyangan yang
mengundang laki-laki untuk menerkamnya. Wajahnya yang halus tanpa pori-pori
menyunggingkan senyum, senyum yang seolah bukan bagian utuh dari mukanya. Suaranya
yang melengking kenes merangkul angin menerpa gendang telinga, kekenesan yang
tampak jelas bukan pembawaan tapi hasil pemograman. Dan dalam hitungan detik,
aku pun harus memutuskan. Dan kuputuskan untuk berbalik, kembali ke rumah.
Celaka betul! Wewe sialan itu tetap mengikutiku dari
belakang. Pada saat langkah kupercepat, setan itu malah mengejar, dan ketika
tangannya yang berkuku panjang dan berwarna merah itu hampir dapat menjarah
kerah, aku pun berlari. Dan kejar-kejaran pun berlangsung seru. Dengus deru
napas, debak debuk kaki, dan denging dengung serangga malam menyatu mengiringi
adegan yang tak masuk dalam skenarioku. Dan kutilanak itu terus memburuku tanpa
ampun!
Untungnya aku lebih paham liku-liku jalan menuju
rumahku daripada sundelbolong itu. Pada belokan terakhir, aku menyuruk ke grumbul pohon pisang. Ia pun kehilangan
jejak. Peri itu tampak celingukan ragu, tak mengira aku masih ada di
sekitarnya, aku yang meringkuk jongkok
di antara batang-batang pohon pisang. Kemudian kudengar iblis itu menyumpah-nyumpah,
suaranya berubah besar dan kasar mengerikan. Dan sebelum berbalik menuju
markasnya, ia menendang botol gepeng minuman keras yang memang kini banyak
berserakan di jalan. Begitulah cerita tentang kunjungan keduaku yang membuatku kapok untuk ke sana lagi.
Dan kembali ke perkara bau pesing. Ya, aroma khas yang
sangat manusiawi itu secara perlahan tapi pasti lenyap bersamaan dengan ngeceng-nya rurung-rurung di kanan-kiri
gang yang sebenarnya tak seberapa lebar itu. Sebagai gantinya, sekarang muncul
aroma wangi yang aneh yang mendirikan bulu kudukku yang mengingatkanku pada bau
sang Sarpakenaka yang tempo hari berusaha menancapkan kuku beracunnya di
tubuhku dan memerosokkanku ke dalam surga imitasinya yang … ah!
Dan sekarang aku merasa lebih nyaman
berjalan memutar meskipun dengan risiko kehilangan waktu hampir seperempat jam
setiap harinya …. ***
Purworejo, Januari 1994
Cerita Pendek ini dimuat koran “Kedaulatan Rakyat”
1994.