Untuk yang
kesekian kalinya pandangan yang kulempar ke arah jembatan menjumpai kehampaan.
Orang yang kunanti belum tampak batang hidungnya. Dan temanku sebangku, Bejo,
masih duduk tepekur.
“Sebentar lagi, Jo. Sabar itu subur,” aku berusaha
membesarkan hatinya sekaligus sebenarnya
untuk menghibur diriku sendiri. Bejo masih menekur seperti semula. Wajahnya tak
berubah: ada kesangsian di setiap tarikan napasnya. Hanya alis tebalnya yang
tampak hidup – sibuk berkerenyit naik turun mengusiri lalat yang merubung koreng di pelipisnya, luka akibat
tergores ujung atap seng.
“Mas sudah ketemu sendiri sama Pak Mingan?” tanyanya
lirih sambil membetulkan jarum peniti di sandal jepitnya yang meronta lepas.
“Sudah, Jo. Pokoknya apa yang kita rencanakan telah
berhasil. Aku berembuk dengannya kemarin sore,” tegasku bersemangat. Namun Bejo
kembali mematung. Hanya hembus napasnya yang dapat kudengar. Kulirik dia dari
samping. Aku inginkan wajahnya sedikit semringah,
tapi ternyata masih tetap keruh. Aku menghela napas.
Kupandangi arlojiku. Tak terasa hampir dua jam aku dan
Bejo duduk mengakrabi kesenyapan di depan warung nasi yang kurasa paling resik
dan kokoh ketimbang warung-warung lain di sepanjang jalan Kemuning ini,
warungnya Pak Mingan.
Bejo masih menekur. Mata kuyunya menyipit ketika
beradu aspal jalan yang seakan memijar memantulkan terpaan mentari senja.
“Kemarin malam aman, ‘kan?” aku mencoba mencairkan
kebekuan yang kian membatu. Bejo mengangguk. Matanya makin menyipit, hampir
terpejam.
“Kang Ponidi bisa diajak brayan, ‘kan?” kutanyakan partner
kerjanya. Bejo kembali mengangguk. Lalu membisu. Matanya terpejam. Rambutnya
yang memerah dan pecah-pecah ujungnya dibiarkan terkulai di pelupuk mata.
Mukanya yang kotor berminyak tampak mengilat.
“Pasti berhasil. Aku optimistis. Sudah berapa warung
yang bersedia?”
“Warungnya Kang Muji, Yu Tukirah, Mas Supri … “ ia
menghitung dengan jarinya, “ya, sekitar dua puluh warung. Mungkin masih tambah
lagi.” Dirogohnya saku jaketnya yang dekil kusam. Aku belum pangling dengan jaket almamater yang
kuberikan tiga bulan lalu.
Lembaran-lembaran folio yang bulan lalu kubuat surat
edaran untuk segenap pemilik warung nasi dan kios buah dan bengkel sepeda yang
ada di pinggir jalan Kemuning diangsurkannya. Isi lembar pertama adalah tentang
pernyataan kesediaan Bejo untuk bertanggung jawab selaku petugas jaga malam,
sedang lembar berikutnya memuat daftar nama para pemilik yang nantinya bakal mempercayakan
keamanan dan keselamatan warungnya. Sebetulnya aku sudah hapal betul isinya,
tapi kubuka juga dan pura-pura kusimak lagi.
“Setelah Pak Mingan mengisi banyaknya iuran dan
membubuhkan tanda tangan, kaubisa melanjutkan keliling sendiri,” tanganku menunjuk-nunjuk
pada kertas yang sudah mulai kumal. “Tanggal tiga puluh besok kau sudah genap
sebulan bertugas, sudah saatnya kaudatangi mereka untuk menarik iuran.”
Kantorku, yang kebetulan juga terletak di jalan
Kemuning, sebenarnya sudah ada penjaga malamnya. Tapi dengan besarnya bangunan
serta luasnya pekarangan, aku punya banyak alasan bila ditanya bos mengapa
harus menyediakan dana tambahan untuk seorang penjaga malam lagi. Kemudian
kucari seseorang yang sekiranya akan dengan senang hati membayar hampir
sebanyak iuran kantorku. Harapanku tertuju pada Pak Mingan, yang oleh banyak
orang dianggap Pak Lurahnya warga jalan Kemuning. Dan seperti yang telah
kuduga, Pak Mingan mengangguk-angguk menyanggupi. Dia memang salah seorang yang
tahu persis siapa Bejo.
Setelah Pak Mingan oke,
aku berani memastikan warga jalan Kemuning lainnya akan ikut-ikutan membayar
sebanyak dia atau setidak-tidaknya tak terlalu jauh selisihnya … untuk
seterusnya setiap bulannya.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Jo.” Kataku sambil
kembali pandangan kulemparkan ke arah jembatan.
“ … entahlah, Mas. Aku kok masih khawatir ….” Bejo menggumam tak jelas.
“Buang sejauhnya kekhawatiranmu. Percayalah, bulan
depan seluruh warung di jalan ini bakal mempercayakan keamanannya padamu.
Katakanlah jika para pemilik sudah mau setor dua ribu rupiah perbulannya,
paling tidak lima puluh ribu sudah ada di kantungmu setiap bulannya. Untuk
jatah Kang Ponidi terserah kau.” Kembali ia menggumam dan aku tak dapat
menangkap apa yang digumamkannya. “Ini sudah kupertimbangkan masak-masak, dan …
yakinlah bahwa simbok dan adik-adikmu semua khusuk mendoakan keberhasilan
usahamu ini.”
Aku mafhum kalau di benaknya masih melintang ganjalan
kekhawatiran yang sukar dikesampingkan. Dua tahun lalu, sewaktu Bejo menjadi
penjaga malam di sekitar Pasar Tanjung, pasar tradisional yang terletak sekitar
satu kilometer di sebelah utara jalan Kemuning, ia dibuat kecewa dan nelangsa:
imbalan tak sepadan dengan besarnya tanggung jawab yang mesti dipikul. “Memang
benar upah sekadar imbalan jerih payah itu sukarela besarnya, tapi ya jangan
lalu …,” ujarnya padaku ketika itu. Lalu entah mengapa aku merasa dituntut
untuk ikut mencarikan jalan keluar.
Matahari senja kian meredup. Cahayanya tak lagi kuasa
mempertegas bayang-bayang. Jalan Kemuning beranjak meremang, gamangnya seakan
menenung diriku juga Bejo yang masih tak bergeming.
“Silakan kalau mau pulang dulu, Mas. Sudah hampir
waktunya berbuka,” Bejo perlahan membuka matanya dan memandangku sekilas. Aku
menggeleng pelan. Dia tahu aku puasa tiap hari Senin dan Kamis. Tapi belum lega
rasanya kalau belum ketemu Pak Mingan. Kemudian dia memandang ke arah gumpalan
bara jingga yang perlahan membenam di balik atap seng warung-warung yang
menghitam kusam karatan.
Kembali pandangan kuhempaskan ke arah jembatan, dan
lagi-lagi harus kecewa. Pak Mingan belum juga tampak.
Penampilan pemuda putus sekolah yang berusaha mengais
rezeki di jalan Kemuning ini memang menghadirkan iba. Lebih-lebih bagi yang
mengetahui latar belakangnya, seperti halnya aku ini.
“Pernah sekolah, Jo?” tanyaku waktu itu, ketika ia
pertama kali minta izin untuk mengambil air di sumur pompa kantorku. Sambil
meletakkan modalnya, berupa sepasang ember plastik yang tampaknya masih baru,
Bejo menjawab, “Hanya mampu bertahan satu semester di fakultas keguruan.”
Terkejut aku mengetahui dia pernah mengenyam pendidikan tinggi.
“Tidak diteruskan?”
“Biaya, Mas. Pendidikan butuh ini, ‘kan?” Bejo
menggesek-gesek telunjuk dengan ibu jarinya.
Kemudian aku menyarankan untuk tidak hanya melulu
berpenghasilan sebagai buruh ngangsu atau
jual air mengingat simbok-nya yang
sudah sakit-sakitan dan adiknya yang sebanyak lima yang semuanya belum mentas. (Entah mengapa Bejo selalu
menghindar bila kutanya tentang bapaknya).
“Apa cukup untuk hidupmu sekeluarga kalau cuma dari
buruh ngangsu?” Pertanyaan ini
kuajukan ketika ia bermaksud pinjam uang lima ribu rupiah untuk memeriksakan
salah satu adiknya yang mencret-mencret ke puskesmas.
“Ya, cukuplah. Cukup untuk sekadar tidak sampai mati kaliren ….” Jawabnya enteng waktu itu
sambil menerima lembaran uang yang kuberikan. Aku menganjurkan agar ia
menawarkan diri menjadi petugas jaga malam di jalan ini, sebagaimana
pekerjaannya dulu. Kurencanakan membuat surat edaran yang akan kuketik rapi
untuk kemudian ia tinggal menunjukkan pada segenap warga jalan Kemuning.
Dua tahun lalu Bejo sebenarnya sudah bisa dibilang
cukup mapan dengan pekerjaannya sebagai penjaga malam ‘partikelir’. “ … setelah
warung dan kios di sekitar Pasar Tanjung digusur dan dikumpulkan di jalan ini
aku kehilangan pekerjaan. Aku harus mulai dari nol lagi ….” Begitu keluhnya
ketika itu. Denganku dia agak terbuka, meskipun dia memang punya pembawaan tak
begitu gampang diajak bincang-bincang. Dia lebih sering menerjemahkan pikiran
dan perasaannya dengan anggukan, gelengan, desahan, atau kadang-kadang hanya
dengan dengusan sengit.
Aku sendiri semula merasa terganggu akan kehadiran
warung-warung di kanan-kiri jalan Kemuning. Di depan kantorku memang ada
kekecualian; kantorku tetap bisa dilihat dari arah jalan. Tapi lihatlah
rumah-rumah penduduk ‘asli’ jalan Kemuning; rumah-rumah yang terkadang
merangkap toko itu tertutup rapat oleh bangunan darurat warung-warung yang
didirikan sembarangan di atas aspal jalan memunggungi trotoar. Warung-warung
itu sekarang sudah mulai tampak kumuh
kurang rawatan.
Pernah ada hasrat kuat di benakku untuk menulis di
rubrik surat pembaca suatu surat kabar tentang kesemrawutan itu. Tapi setelah
kupikir dan renungkan, apalagi sesudah aku demikian akrab dengan Bejo,
kuurungkan niat itu. Aku khawatir kalau mereka kena gusur lagi. Bukannya tidak
mungkin mereka jadi nekat mengambil jalan pintas jadi copet atau penjambret
karena frustrasi berkali dihempas keras oleh apa yang disebut penertiban.
Mereka mau dan mampu mandiri, dengan menciptakan
lapangan pekerjaan buat dirinya sendiri. Tidak seperti aku dulu, yang berbulan
berderet antre lowongan pekerjaan di kantor Depnaker. Seringkali aku merasa
harus banyak belajar dari mereka. Belajar menyiasati serimpungan nasib mengurai
belitan takdir. Ya, orang yang berani hidup ternyata lebih mengesankan daripada
orang yang berani mati.
Bangku tua yang kududuki berderit-derit seirama
tanganku yang gemas melumati nyamuk-nyamuk kelaparan. Lampu-lampu pinggir jalan
di depanku sudah menyala setelah beberapa saat berkedip-kedip risau. Bau
comberan di gorong-gorong belakang warung nasi yang semula tak begitu
kupedulikan kini terasa tajam menyengati hidung menyesaki paru-paru.
Memang kuakui, jalan ini sejak dijadikan semacam pasar
kaki lima tidak layak dibilang bersih dan tertib lagi. Trotoar yang mestinya
untuk para pejalan kaki berubah menjadi lorong-lorong sempit sumpek dan buntu
di sana-sini dan bau kencing pesing. Ditambah lagi adanya berita bisik-bisik
yang sekarang makin lantang terdengar tentang fungsi tambahan jalan ini sebagai
etalase para pramunikmat setiap malamnya. Hal itu sangat memungkinkan karena
beberapa dari warung-warung itu juga merangkap sebagai tempat tinggal.
Kembali kulempar pandangan ke arah jembatan. Dan kali
ini mataku menumbuk sosok yang sudah hampir tiga jam kunanti. Lelaki separuh
baya dengan perawakan kecil kencang berotot seperti Raden Setyaki berjalan
bergegas menuju ke arahku. Tanpa dikomando aku dan Bejo pun berdiri. Semakin
dekat jaraknya semakin tampak sesuatu yang janggal di wajah Pak Mingan. Senyum
yang menjadi ciri khasnya bila ketemu karib kerabat sama sekali amblas.
“Pak Mingan …” sapaku parau begitu
jarak antara aku dan dia kurang dari tiga meter. Tapi dia seolah tak melihatku,
tak melihat apa-apa. Matanya melotot mati seperti kelereng. Ketika melewatiku
tercium aroma keringat yang tajam menyengat dan terdengar deru napas yang
kencang memburu. Tanpa menoleh kanan-kiri dia menyuruk masuk warungnya. Lalu
kudengar bunyi berkelontang gaduh. Pak Mingan sepertinya tengah mengobrak-abrik
mencari sesuatu.
Niatku untuk ikut masuk warung
kuurungkan saat kudengar deru mesin dan debuk sepatu. Ya, dapat kulihat para
petugas berseragam yang berlompatan turun dari bak mobil. Ada tiga buah
kendaraan kap terbuka dengan membawa berpuluh petugas dengan wajah tersembunyi
di balik helm.
Seperti ada komando para pemilik
warung pada keluar menghambur ke jalan. Ada perubahan dahsyat dalam hitungan
detik di jalan ini, dari kelengangan yang meredupkan menjadi keriuhan yang
menyalangkan. Kulihat Pak Mingan sudah ada di antara mereka. Yang kukhawatirkan
adalah pipa besinya yang diacung-acungkan ke arah para petugas: ada suasana
permusuhan yang begitu mencekam.
Kutelan ludahku yang mendadak terasa getir. Bejo
melangkah gontai ke arahku. Ia menatapku lekat-lekat. Dari gerak bibirnya
kulihat dia mengucapkan sesuatu tapi bunyi hiruk-pikuk dan suara peringatan
dari megafon terlalu keras menendang-nendang gendang telingaku. Keras tapi
hanya dapat kudengar, sulit kumengerti. “ … JALAN
KEMUNING INI … BERSIH DAN TERTIB … TEMPAT BARU … DI SINI … PARKIR MOBIL … “.
Azan Maghrib melengking menyayat mencabik nuraniku.
Perlahan kurangkul Bejo yang dengan lembut menepis rengkuhan tanganku. Lalu dia
berjalan bergegas ke arah kerumunan para pedagang. Dengan tergopoh kuikuti dia
dari belakang. Banyak yang ingin kukatakan, tapi kelunya pangkal lidah menjerat
semua kata yang siap kumuntahkan …. ***
Purworejo, 1986
Cerita Pendek ini memenangi lomba penulisan cerpen
Kopisisa tahun 1986
Catatan:
brayan = bersatu hati untuk bekerjasama (seperti
keluarga sendiri)
mentas = tidak tergantung orang tua lagi atau sudah
berpenghasilan sendiri
kaliren =
kelaparan