Tidak menjadi beban bagimu untuk ragu-ragu dan memberitahukubahwa kau telah melakukan kesalahan dan kauhapus kalimatmudengan pensilmuAku jadi ingat dengan Descartes yang senantiasa meragukan apapundemikian juga Nietzsche yang lebih suka disalahpahamiyang kau begitu bersemangat membicarakannyaAku memang sudah memasuki dunia yang membutuhkan kecurigaankecurigaan yang mewartakan keraguan dan kebimbanganya, aku kini begitu percaya akan ketiadaannya kebenaran tunggalSekarang kulihat kertasmu yang sudah tampak lusuh dan ketika kubertanyamengapa tidak kauganti dengan kertas yang lain, kau katakan tidak inginlebih banyak lagi pohon ditebang(di luar Arps Hall kulihat tupai-tupai berlarian di pohon buckeye)Columbus, awal Desember 2013
PENSIL DAN KERTAS
BAGELEN ADALAH JIWA-JAWA
Bagelen adalah jiwa-jawayang pantang ada ketinggian hati di tanahnyakarena dia berasal dari kerendahan hatiyang bisa narima dengan legawa segala kebaruanmeski semula hadirkan keterasinganyang bisa rangkul india rengkuh arabiagandeng tionghoa jamu portugissapa spanyol, belanda, jepang, dan inggrissenyumi semuanya dalam dirinyajiwa-jawa yang akui diri penuh kekuranganyang hargai keberadaan liyanyang bisa rumangsa bukannya rumangsa bisadi hadapan yang maha pewarta kebaruanbagelen adalah jiwa-jawayang pantang dabik dada akulah pemiliknyakarena dia ada dengan narima layaknya rahim ibundayang tampung benih ayahanda dan lalu lahirkan keelokanmerak-hati yang tidak pernah merasa ada dengan sendirinyayang sadari bahwa bukanlah milik ibunda itu gua-garbabahwa wiji bukanlah ayahanda empunyabahwa ponang jabang bayi bukanlah milik siapa-siapadi hadapan yang maha pemilik segalabagelen adalah jiwa-jawayang pantang dabik dada bahwa dari tanahnyatumbuh jawara yang antarkan keraton temui kejayaanyang kawal bentengi nusantara dengan tokohnyaada wage ada kasman ada janiyang tumbuh dari saripati tanahnyalayaknya hijaunya dedaunan dan birunya lelangitansungguh berperan meski seringkali tak diakuidan tak hendak mengakuibagelen adalah jiwa-jawayang pantang nyatakan diri ini satu-satunya pemilik kebenaranyang kagum gebrakan dipanegara tapi maklum tindakan cakranegarayang percayai ngono-ya-ngono-ning-ya-mbok-aja-ngonoyang sadari bahwa tidaklah perlu korbankan surga di sanademi tanah di sini yang meski janjikan nikmat namun sesaatyang sadari bahwa dunia hanyalah permainandan senda gurau belaka yang bikin tersesatnamun yakin bahwa tak ada sedebu pun diciptakan dengan sia-siabagelen adalah jiwa-jawayang eling akan satu kesalahan iblis yang merasa dirinya lebih muliayang waspada bahwa sekarang agamanya banyak dianut manusiaagama yang jauh dari kerendahan hatiagama yang rendahkan liyan dan pandang dirinya tinggi menjulangbagelen adalah jiwa-jawangupasan, pangenjurutengah, pertengahan mei 2014
SENJA DI JALAN KEMUNING
Untuk yang
kesekian kalinya pandangan yang kulempar ke arah jembatan menjumpai kehampaan.
Orang yang kunanti belum tampak batang hidungnya. Dan temanku sebangku, Bejo,
masih duduk tepekur.
“Sebentar lagi, Jo. Sabar itu subur,” aku berusaha
membesarkan hatinya sekaligus sebenarnya
untuk menghibur diriku sendiri. Bejo masih menekur seperti semula. Wajahnya tak
berubah: ada kesangsian di setiap tarikan napasnya. Hanya alis tebalnya yang
tampak hidup – sibuk berkerenyit naik turun mengusiri lalat yang merubung koreng di pelipisnya, luka akibat
tergores ujung atap seng.
KEDUNG PUTRI
Barang kali
sembunyi di sela sampah
aduh baunya!
tiga hari sang
putri tak mandi
kutang
kerontangmu
(ah, andai kau
tak semolek itu)
tapi perintah
badaniah tak terbantah
: tubruk peluk
barang kali itu!
(sang putri pun
mengandungnya
kedungnya hangat
akrab bersahabat)
barangkali sudah
jadi garisnya
sejak ditetaskan
simbok
dia diajar
pantang bilang pasti
ragu pun selalu
membuntuti
: barangkali, den
…
(sang putri pun
mengandungnya
kedungnya hangat
akrab bersahabat)
lihat sobat
si barangkali
mengais barang kali
kalung kutung
patung buntung
itu barang di
kali kedung putri
(sang putri pun
melahirkannya
menguntapkan
sampai ke regol)
ah, dia bukanlah
si jengger wilah
dia jago kampung
liat berkeringat
tajinya perkasa
menggagahi sang putri
1999
* kali yang membelah kota Purworejo
Dari antologi puisi “Kidung
Bulan Tertikam” 1999
DARI JENDELA KACA BUS KOTA
Ada gundukan timbunan kerikil
di pinggir jalan dibungkus ilalang
rupanya si kerikil sudah
tercungkil
di sepatu ia kian merasa menang
ada kakek renta senyumnya tiada
dua
sapu bersih sampah bikin jadi
bukit
rupanya si kakek melacikan mata
pada kelejat sekarat si terjepit
ada ayam jawa panjat pagar
rakus ganyang pupus pisang ambon
rupanya si ayam tak sudi dengar
pada bisik kelesik doa memohon
ada talang tiris beceki pekarangan
remukkan dada itu limbah tercurah
rupanya si pekarangan hilang
sayang
marah tak lagi bisa tercegah
1999
Dari antologi puisi “Kidung
Bulan Tertikam” 1999
AWAS LUBANG GALIAN
Kang sarijo,
konon langit sudah
berlubang
dari situ muncul
bedengus yamadipati
kulit jamuran dan
gudikan dulu
sebelum kejet-kejet kleset mati
bukankah sekarang
lebih sering kita
gerah kepanasan?
hujan sudah
keenakan punya wudel
prakiraan cuaca
tak bisa diendel
garengpung pun
cuma ngedumel
semau sendiri
bikin anyel
yu mujirah,
lubang itu di
mana-mana ada
amit sewu kau-aku
pun punya
kalau soal demit
penyakit
jelas lebih
kepingin ndulit
perut mblegendong
priyagung astina
mana mau ndekem
di tubuh kita
berlumpur
berkeringat bau karat
dan hujan itu
anugerah
masih mau singgah
sudah alkamdulilah
masih sejuk
bening sudah untung
apa semua perkara
mesti bisa dipetung?
tirakatku kini
buat prenjak ragilku
nyandangnya
warna-warni nyemelangi
makin sering
mbonceng denmas koplo
itu lho yang
sering kecemplung
lubang-lubang
jalanan
kang, bang mandor
pelototin kite tuh!
yu, ojo ndagel!
kemarikan linggisku!
1996
Dari antologi
puisi “Menoreh 3” 1996
Subscribe to:
Posts (Atom)