SENJA DI JALAN KEMUNING



Untuk yang kesekian kalinya pandangan yang kulempar ke arah jembatan menjumpai kehampaan. Orang yang kunanti belum tampak batang hidungnya. Dan temanku sebangku, Bejo, masih duduk tepekur.
“Sebentar lagi, Jo. Sabar itu subur,” aku berusaha membesarkan hatinya sekaligus  sebenarnya untuk menghibur diriku sendiri. Bejo masih menekur seperti semula. Wajahnya tak berubah: ada kesangsian di setiap tarikan napasnya. Hanya alis tebalnya yang tampak hidup – sibuk berkerenyit naik turun mengusiri lalat yang merubung koreng di pelipisnya, luka akibat tergores ujung atap seng.

KEDUNG PUTRI



Barang kali sembunyi di sela sampah
aduh baunya!
tiga hari sang putri tak mandi
kutang kerontangmu
(ah, andai kau tak semolek itu)
tapi perintah badaniah tak terbantah
: tubruk peluk barang kali itu!

(sang putri pun mengandungnya
kedungnya hangat akrab bersahabat)

barangkali sudah jadi garisnya
sejak ditetaskan simbok
dia diajar pantang bilang pasti
ragu pun selalu membuntuti
: barangkali, den …

(sang putri pun mengandungnya
kedungnya hangat akrab bersahabat)

lihat sobat
si barangkali mengais barang kali
kalung kutung patung buntung
itu barang di kali kedung putri

(sang putri pun melahirkannya
menguntapkan sampai ke regol)

ah, dia bukanlah si jengger wilah
dia jago kampung liat berkeringat
tajinya perkasa menggagahi sang putri

1999
* kali yang membelah kota Purworejo
Dari antologi puisi “Kidung Bulan Tertikam” 1999

DARI JENDELA KACA BUS KOTA



Ada gundukan timbunan kerikil
di pinggir jalan dibungkus ilalang
rupanya si kerikil sudah tercungkil
di sepatu ia kian merasa menang

ada kakek renta senyumnya tiada dua
sapu bersih sampah bikin jadi bukit
rupanya si kakek melacikan mata
pada kelejat sekarat si terjepit

ada ayam jawa panjat pagar
rakus ganyang pupus pisang ambon
rupanya si ayam tak sudi dengar
pada bisik kelesik doa memohon

ada talang tiris beceki pekarangan
remukkan dada itu limbah tercurah
rupanya si pekarangan hilang sayang
marah tak lagi bisa tercegah

1999



Dari antologi puisi “Kidung Bulan Tertikam” 1999


AWAS LUBANG GALIAN



Kang sarijo,
konon langit sudah berlubang
dari situ muncul bedengus yamadipati
kulit jamuran dan gudikan dulu
sebelum  kejet-kejet kleset mati
bukankah sekarang
lebih sering kita gerah kepanasan?

hujan sudah keenakan punya wudel
prakiraan cuaca tak bisa diendel
garengpung pun cuma ngedumel
semau sendiri bikin anyel

yu mujirah,
lubang itu di mana-mana ada
amit sewu kau-aku pun punya
kalau soal demit penyakit
jelas lebih kepingin ndulit
perut mblegendong priyagung astina
mana mau ndekem di tubuh kita
berlumpur berkeringat bau karat

dan hujan itu anugerah
masih mau singgah sudah alkamdulilah
masih sejuk bening sudah untung
apa semua perkara mesti bisa dipetung?

tirakatku kini buat prenjak ragilku
nyandangnya warna-warni nyemelangi
makin sering mbonceng denmas koplo
itu lho yang sering kecemplung
lubang-lubang jalanan

kang, bang mandor pelototin kite tuh!
yu, ojo ndagel! kemarikan linggisku!
1996
 Dari antologi puisi “Menoreh 3” 1996

SAWIJINING DINA



Sawijining dina
negeri kita negeri bahari
nenek-moyang rengkuh seluruh nusantara
gemah ripah loh jinawi
adidaya adikuasa asia tenggara

kemudian kekerdilan merebak meruyak
pilar-pilar kukuh jatuh rubuh
muncul gemerlap gemulai keraton pedalaman
asyik masyuk dengan segala tetek-bengek

sawijining dina
negeri kita negeri balita belia
bung-bung pejuang cemerlang
dahinya angkasa dadanya samudera
fajar memijar pendekar asia tenggara

kemudian kekerdilan merebak meruyak
pilar-pilar kukuh jatuh rubuh
muncul durna-duryudana berbusa berbisa
asyik masyuk dengan segala tetek-bengek

sawijining dina
negeri kita negeri kita
keemasan dan keruntuhan
keruntuhan dan keemasan

le, mana dadamu?

1996
Dari antologi puisi “Menoreh 3” 1996

LANGIT-LANGIT ANGKASA



Memandang angkasa menatap mega-mega
yang menyerupakan dirinya
seperti yang kau-aku rasa
ada kuda sembrani ada raden gatotkaca
ada yessy yang kusimpan di dada

memandang langit-langit rumah
menatap pyan kepang putih ramah
hujan melukis tiris dan lumut pun ikut
yang menyerupakan dirinya
seperti yang kau-aku rasa
ada jaka tarub dan bidadarinya
ada jaka tingkir dan putri kedatonnya
ada dada yenny yang terbuka

(setelah kurebut tetek-bengek atribut)

yang kupandang lubang di angkasa
kian ancam penghuni dunia
yang kutatapi hujan asam di mega-mega
kian cekam hati manusia

(plafon rumah
kini berornamen entah
apa dari mana
serupa seragam segala
jangan tanya mana senyumnya)

1996

Dari antologi puisi “Menoreh 3” 1996