Maryati
bersicepat turun dari bus antarkota yang telah membawanya dari Yogyakarta.
Belum lagi kedua kakinya mantap menapak aspal jalan, ia telah diserbu sodoran
becak dan teriakan kernet angkot. Teman seperjalanannya, Rahayu, memandangnya
terheran-heran dari balik kaca jendela bus. Ia tak bisa mengerti sama sekali
dengan keinginan Maryati yang datang tiba-tiba.
Maryati malu untuk berterus terang pada gadis
serasional Rahayu. Ia khawatir Rahayu akan tertawa tergelak-gelak dan, ini yang
paling dikhawatirkannya, lalu akan merendahkannya dengan serendah-rendahnya.
‘Tapi sekali-sekali memanjakan perasaan apa salahnya?’ batin Maryati ketika
ingat nasihat sahabatnya yang terlalu sering mampir ke telinganya: ‘Yat,
latihlah agar perasaanmu tunduk pada akal sehatmu!’. Tapi kali ini Maryati
ingin memanjakan perasaannya. Perasaan rindu untuk kembali menyusuri jalan
kenangan beberapa tahun yang silam, kenangan ketika masih berseragam putih
abu-abu.
Tak sampai dua menit Maryati berjalan ia sudah sampai
di muka sebuah gedung bioskop. Seperti biasa di situ banyak dijumpai kerumunan
orang. Ya, orang-orang yang merubungi penjual kode buntutan. (SDSB? SOB?
Porkas? atau apalah namanya? ia lebih suka menyebutnya buntutan). Di pelataran
depan gedung bioskop itu memang pusatnya, arena penjual obat dan penjaja kode
buntut dapat dengan leluasa menggelar dagangannya.
Maryati memperlambat langkahnya. Masih gamblang
terbayang di benaknya, ketika itu, pas ada jam kosong, Maryati kerap (walau
semula dengan terpaksa) mengikuti sang “pacar” nonton atraksi penjual kode
buntut. Tontonan gratis yang bisa mengurangi rasa kecewanya akan ketidakhadiran
seorang guru yang konon sedang ditugasi kepala sekolah menghadiri rapat.
Aneh-aneh dandanan para penjual kode buntut itu. Yang
berada di pojok utara gedung bioskop mirip warok dari Ponorogo lengkap dengan ubarampe yang mendukung kesan magis
penampilannya. Sesekali dipamerkan kelahapannya mengunyah pisau silet atau
memamah tabung lampu neon. Yang jongkok di sudut sebelah selatan berpenampilan
lebih kalem. Gayanya mengingatkan pada dukun-dukun yang beroperasi di sekitar
Jogja atau Solo. Gerak-geriknya lamban dan serba ningrat. “Dukun” itu
mengompleti dirinya dengan keris, cundrik, dan mata tombak. Mulutnya tak henti
komat-kamit di depan tungku kecil dengan asap kemenyan mengepul. Di dekat
emperan gedung juga ada tontonan gratis. Di trotoar pinggir jalan juga ada. Ya,
pemandangan yang tak jauh beda dengan beberapa tahun silam.
“ … Abang dari Medan. Abang merantau ke sini hanya
ingin menambah persahabatan mencari persaudaraan sekaligus membantu Saudara
sekalian ….” Suara lantang yang berasal dari seorang penjual kode buntut yang
duduk mencangkung di balik kerumunan. Suara yang membuat Maryati mengurungkan
niat untuk melanjutkan jalan-jalan. Suara yang pernah sangat akrab di
telinganya. Ia berhenti dan berusaha menangkap gelombang suara yang berhasil
membuat jantungnya berdetak lebih keras.
Maryati berdiri mematung sesaat. Kemudian dengan
perlahan ia kembali mengayunkan langkah. Baru beberapa tindak langkahnya
mendadak menyurut ragu. Lalu kembali berhenti. Berdiri tercenung-cenung. Dan
kemudian bagaikan tersedot arus magnet yang sangat kuat, Maryati berbalik dan
menyeret langkahnya menuju ke arah suara yang sangat dikenalnya.
Dengan gumpalan penasaran yang mengganjal dada,
Maryati berupaya maju ke depan dengan mendesak menyibak kerumunan. Namun
kerumunan sudah begitu padatnya, ia tak juga berhasil mencapai tempat terdepan.
Dijingkitkan ujung kakinya, dipanjangkan leher jenjangnya, ditajamkan mata
sayunya (dan ia baru sadar kalau kacamata minus tiganya tertinggal di
pondokannya di Jogja) untuk dapat melihat sang pemilik suara yang
mengingatkannya pada seseorang.
Maryati terkesiap, napasnya seakan tersumbat, begitu
pandangannya yang kabur menumbuk sosok seorang pria. Ia tak bisa melihat dengan
jelas, karena selain jarak yang tidak dekat, himpitan dan goyangan dari kanan
kiri depan belakang, juga matanya yang mestinya dibantu kacamata untuk melihat
jauh. Ia hanya dapat menebak-nebak: pria dengan penampilan perlente dengan dasi
warna merah tua dengan gaya seorang pakar matematika menjabarkan rumusnya. Dan
yang mengagumkan adalah bahwa pria itu menulis angka dengan terbalik dengan
kecepatan mengagumkan … angka-angka itu langsung menghadap ke arah penonton.
Maryati memejamkan mata. Ia menyimak gelombang suara
yang menerpa gendang telinga yang merambati saraf otak yang menggetarkan
sanubari yang memilin-milin perasaan yang …. yang memaksa kedua telapak
tangannya yang seketika menjadi sedingin gedebok pisang untuk menutup mukanya.
“ … Dengar Abang punya bicara. Di zaman yang serba
komputer, serba robot, serba nuklir ini kita dituntut untuk menggunakan rasio,
penalaran, akal sehat, dalam menghadapi segala problema … tak terkecuali
tentang ini Saudara …” kata pria berdasi penjual kode buntut itu seraya
menimang-nimang segepok kupon SDSB. Bicaranya yang lincah dan luwes dengan gaya
orator ulung menjadi demikian dominan di antara penjual kode buntut lain yang
semata andalkan kelantangan suara tanpa memperhitungkan apa yang diteriakkan.
Didukung dengan pengeras suara dan seperangkat sound system yang cukup canggih, pria dandy itu memang yang paling menyedot perhatian penonton.
Ya, sang “pacar”, Marlon, memang dikenal supel dalam
pergaulan. Orang Jawa bilang: bisa
mencala putra mencala putri, alias bisa jadi apa saja. Maryati mengakui
adanya keasyikan tersendiri ngobrol dengan Marlon, yang seolah tak pernah
kehabisan bahan obrolan. Masih melekat di benak Maryati pada betapa terasingnya
ia pada hari-hari pertama duduk di
bangku SMA. Memang di antara teman-teman sedesa yang beruntung dapat diterima
di SMA Negeri favorit seperti halnya dirinya itu hanyalah Rahayu dan Marlon. Dan Marlon dengan canda
dan tawanya, dengan seabrek anekdot-anekdotnya, telah berhasil hadir sebagai
dewa penolong yang mencampakkan keterkucilan dan menggantinya dengan kegairahan
belajar dan bergaul layaknya dara remaja seusianya.
Masih saja Maryati suka mesam-mesem meski sedang sendirian bila ingat bagaimana gugupnya
Marlon sewaktu pertama kali menawarkan jasa agar ia “berkenan” diboncengkan
dengan GL hitamnya yang gres dan
mengilap. Ia pun tak punya alasan untuk menolak. Toh Rahayu sudah diboncengkan
bapaknya yang kebetulan kantornya berdekatan dengan gedung sekolah. Malah
diam-diam ia bersyukur dapat menghemat uang angkot seribu rupiah setiap harinya
… suatu jumlah yang tidak sedikit bagi keluarganya ketika itu.
Yang lain, yang tak layak dikesampingkan, yang
merupakan pupuk penyubur benih kasih di antara mereka adalah adanya semacam
rasa saling ketergantungan atau mungkin lebih tepatnya saling membutuhkan.
Marlon selalu berjaya pada matematika tapi selalu meringis kala menghadapi
bahasa Inggris. Sebaliknya Maryati menganggap matematika itu sungguh mematikan
dan soal-soal kebahasaan selalu menyenangkan. (Selain mengajari Marlon bahasa
Inggris, ia juga mengajarinya bahasa Jawa, maklum Marlon menghabiskan masa
kecilnya di Medan). Jadilah persahabatan mereka menjadi semacam simbiose
mutualisme. Dan rasa saling membutuhkan itu menjadi tali kokoh yang makin erat
mempertautkan mereka berdua.
“ … Abang punya angka bukan hasil persekongkolan
dengan lelembut, bukan hasil klenik, ataupun hasil tirakat di kuburan keramat,
bukan Saudara, bukan! Tapi Abang memperoleh angka dengan menggunakan metode
yang spesifik-eksklusif, dengan perhitungan njelimet yang hanya para dedengkot
NASA yang paham ….” Pria perlente itu terus nyerocos sampai kedua sudut
mulutnya berbusa, dan yang merubungnya pun tak berkurang. Di mata orang-orang
yang berdiri mengitarinya dia memang sangat mempesona, barangkali bagaikan
sosok Rendra di mata para pecandu teater modern, atau bagaikan Sardono W.
Kusumo di mata para pecandu tari eksperimental.
Si Abang yang mengaku bermalam di hotel berbintang. Si
Abang yang mengesankan berasal dari kalangan elit-berduit, dengan tiket-tiket
pesawat terbang yang sengaja diserakkan di karpet merahnya yang konon dari
Persia. Si Abang yang begitu percaya diri memamerkan bermacam uang manca
negara. Si Abang yang … pokoknya hebat!
Marlon memang berasal dari keluarga the have, punya perkebunan kelapa sawit
berhektar-hektar di kawasan sekitar Medan. Sangat mencolok keberadaan
keluarganya itu di antara warga sekampung. Ada yang mengatakan bahwa kepindahan
orangtua Marlon di tanah Jawa karena mereka
ingin anak-anaknya semua dapat kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta,
syukur kalau semua jadi dokter. Selain itu memang konon simbah buyut Marlon
adalah orang asli Bagelen yang jadi kuli kontrak di Sumatera dan kemudian entah
bagaimana ceritanya sukses di sana.
Menjelang Ebtanas, seperti halnya siswa lainnya,
Maryati mendapat tugas menyusun karya tulis. Dan, seperti yang sudah diduga
teman sekelas, ia bergabung dengan kelompok yang diketuai Marlon, kelompok yang
menyusun paper berjudul ‘Distribusi Tumbuhan Rumput Angin Ipomoea Prescaprae’. Pantai Congot yang menyengat sejak jam tujuh
pagi sampai jam lima sore menjadi ajang penelitian dan pengamatan yang meski
berat dan membuat penat berkeringat tapi kelompok yang terdiri dari lima siswa
itu tetap giat bersemangat.
Marlon semakin tak dapat berpisah dengan Maryati.
Benih kasih itu rupanya telah mengecambah. Dan sulur-sulur muda yang trubus
menembus permukaan sudah sulit untuk ditutup-tutupi lagi. Tak kuasa Marlon
untuk terus diam memendam rindu dendam.
Pada saat Maryati sedang asyik sendirian dengan
tugasnya mengamati bunga rumput angin yang banyak dijumpai di sepanjang pantai
Congot, pada saat itulah Marlon tengah menakar, menimbang, dan menyeimbangkan
perasaannya. Perlahan dihampiri Maryati yang sedang duduk bersimpuh di atas
selembar kertas koran. Setelah sejenak berbasa-basi untuk sekadar meredakan
debar jantung, Marlon dengan hati-hati mulai menjalankan skenario yang telah
disusun, skenario dengan dialog yang terinspirasi oleh cerita bersambung yang
ia dapati di sebuah majalah hiburan.
“ Yat, sorry,
aku mau mengganggu nih … ada sesuatu yang ingin kubicarakan,” bisiknya sembari
menggeser letak duduknya supaya lebih merapati sang pujaan hati yang sedang
membelai-belai bunga rumput angin yang bundar serupa bola. Dan kata-kata yang
ia kutip dari cerbung majalah pop yang berjaya pada tahun 80-an pun mengalir
lancar dari mulut Marlon, dan kalimat panjang-panjang yang agak kuno itu
diakhiri dengan, “… menjelang tidur bayangmu lekat di pelupuk mata dan begitu
terlena hanya senyummulah yang menghiasi mimpiku dan setelah kembali terjaga
aku senantiasa didera kecewa … mengapa itu semua hanya mimpi belaka?”
“Aku nggak ngerti maksudmu, Lon,” Maryati sebenarnya
sudah bisa menebak tapi berlagak seolah belum paham, atau bergaya seolah tak
begitu dengar. Ombak pantai selatan saat itu memang sedang berdebur bergelora.
Marlon dengan suara lebih dikeraskan melanjutkan, “Akan kuwujudkan
impian-impian itu … kamu dan aku mestinya senantiasa bernaung berdua di bawah
teduhnya rentangan payung rindang kebersamaan.”
Maryati tertunduk. Kata-kata Marlon sudah terlalu
gamblang: Maryati merasa tak punya dalih lagi untuk tidak mengerti.
Dipalingkannya muka, dipandangnya ombak yang nampak begitu kacau sepak
terjangnya, begitu balau. Maryati mafhum bahwa cepat atau lambat hal itu akan
harus dihadapi, ia merasa harus siap … tapi tidak sekarang! Dan entah bagaimana
mulanya Maryati mendapatkan kata-kata yang seolah sudah ada di lidah dan
kemudian mengalir begitu saja melalui bibirnya yang terasa kasar dan kering:
”Kata-kata yang
indah untuk diucapkan, bukan?”
“Kamu … menolakku?” mata Marlon menyipit risau.
“Aku tidak mengatakannya,” mata Maryati membuka galau.
Mata yang tak beranjak menatapi ombak yang menggejolak. Tapi dada Marlon jauh
lebih menggelegak.
“Jadi kamu terima cin … cintaku?”
“… kamu lihat ombak itu yang … “ Maryati tak mampu
menemukan kata-kata yang tepat. Dan pada saat yang kritis itulah datang angin
penolong yang dikirim sang ombak untuk
menculik bunga rumput angin dari belaian Maryati. Bunga itu terbang dibawa angin.
Dan ia langsung bangkit dan berjingkat mengejar meski tanpa ada sedikit pun
maksud untuk mendapatkan bunga itu kembali, bunga bulat yang kemudian kembali
terhempas di pasir pantai dan terus menggelinding memental-mental. Ya, bunga
itu telah menyeret pergi kepastian yang sudah lama ditunggu Marlon. Akhirnya perjaka tampan dari Medan
itu hanya bisa menghela napas panjang. Akal sehat mencegahnya untuk tak terburu
memburu kepastian.
“ … Sudah tak terhitung cukong dan bandar di Medan
yang gulung tikar. Bahkan ada yang sampai meringkuk di balik terali besi
gara-gara Abang punya angka …. “ Khalayak yang berdiri rapat mengelilingi
lelaki perlente penjual kode buntut itu masih tampak antusias setelah sekian
lama menyimak apa yang dikatakannya. Mereka tampak sesekali mengangguk-angguk
atau menggumam mengiyakan dengan tak melepas tatapan pada sederetan
angka-angka. Ada satu dua perubung yang merogoh saku untuk mendapatkan amplop
tertutup yang berisi ramalan SDSB walau harganya sebetulnya relatif mahal.
Dagangan lain berupa ‘Kitab Astronomi, Matematika, dan Angka Mujur’ yang konon
karyanya sendiri juga diminati penonton. Dengan keramahan hangat seorang
sahabat dan senyuman akrab seorang saudara dekat ia cekatan melayani para
pembeli mimpi dan pemburu angan.
Ramah, murah senyum, dan percaya diri, itulah daya
tarik utama Marlon, selain tentu saja kekayaan dan ketampanannya. Andaikan
Maryati ketika itu tidak memergoki Marlon tengah asyik nyonji buntutan (yang mengekor pada penarikan SDSB) mungkin saat
ini Maryati sudah menimang-nimang sayang seorang bocah mungil dengan kulit
cerah seperti kulit Marlon dan hidung bangir seperti hidungnya. Ya, Maryati
benci setengah mati pada judi, judi dengan segala bentuk perwujudannya.
Cengkeraman kegetiran masa kanak karena ayahnya yang pecandu judi masih
membekas sangat dalam. Bahkan judi pula yang merampas pengukir jiwa raganya itu
melalui tikaman belati konco judinya yang mabuk dan menuduh ayahnya bermain
curang.
Sejak menangkap basah Marlon, Maryati mulai hati-hati
dan mengambil jarak. Dan rupanya Marlon cepat tanggap akan perubahan perangai
Maryati. Lalu tanpa tedheng aling-aling Maryati menyampaikan
penyebab perubahan sikapnya pada saat Marlon menanyakan. Dan Marlon pun serta
merta bersumpah untuk menjauhi segala macam bentuk perjudian ….
“ … Terus terang di sini Abang tidak menjual
angka-angka keramat. Angka-angka jitu yang Abang tawarkan adalah hasil kerja
intelektual ....” Betapa pun meyakinkannya seorang penjaja kode buntut namun
sebetulnya hanya orang keblinger saja
yang tidak menyadari satu hal: kalau memang mampu meramal angka yang bakal
keluar dengan jitu mengapa tidak ditembak sendiri saja kemudian tinggal ongkang-ongkang menikmati hasilnya?
Bukankah berpanas-panas sambil berkoar-koar itu luar biasa capeknya? Maka betapa pun meyakinkannya
Marlon berkoar untuk menjauhi buntutan dan bersumpah untuk tidak menyentuhnya
lagi nyatanya Maryati masih saja mendapati girik-girik buntutan di sela-sela
buku geometrinya. Akibatnya sudah jelas … Marlon gelagapan diterjang luapan
kejengkelan Maryati. Kupon-kupon buntutan itu dicampakkan ke muka Marlon yang
kontan pucat pasi.
Dan untuk yang kedua kalinya Marlon bersumpah (konon
kali ini sambil duduk bersimpuh). Maryati menanggapi dingin. Ia sebenarnya
sudah tak hendak menyisakan maaf, kalau saja ia tak memaklumi satu hal: bahwa
lepas tuntas dari judi bukanlah perkara sepele bagi Marlon. Maryati mulai paham
siapa Marlon. Ayahnya dikenal sebagai orang yang menggandrungi segala macam
bentuk perjudian, mulai dari domino, kasino, buntutan, remi, ceki sampai
tebak-tebakan plat nomor mobil.
Marlon mengakui telah akrab dengan judi sejak masih di
Medan. Tetangga kanan-kiri juga sudah tahu bahwa, selain warisan dari sang
kakek, judilah yang membuat hidupnya sekeluarga bisa serba wah. Bahkan menurut penuturan Marlon sendiri, rumah megah dengan
segala perlengkapan mewah yang ada di dalamnya adalah hasil judi.
Maryati menghargai keterusterangan serta kejujuran
Marlon. Untuk yang terakhir kalinya Maryati memberi maaf setelah sebelumnya
geram mewanti-wanti, “Sekali lagi kutemukan kupon-kupon buntutan, silakan
kaukunyah sebagai jamuan perpisahan kita!” Diam-diam Marlon bergidik ngeri
dengan ultimatum Maryati. Ya, Maryati yang selalu konsekuen dengan ucapannya
dan senantiasa konsisten dengan prinsipnya itu memang bukan tipe gadis pajangan
yang suka dipuji dan selalu ingin dilindungi dikasihani. Kedewasaannya
tergembleng dan terbentuk oleh kegetiran masa kecil yang dihadapi dengan penuh
ketabahan bersama ibunya sepeninggal sang ayah.
Waktu yang merentang secara berangsur mengobati luka
yang menggores hubungan Maryati dan Marlon,
hingga luka itu makin kering dan sembuh. Bahkan dalam perbincangan
Marlon sudah tak sungkan lagi menyinggung tentang pertunangan, tentang perkawinan,
tentang rumah mungil yang diributi “anak-anak kita kelak” … Dan entah kekuatan
apa (yang Maryati sendiri sampai kini tidak tahu pasti) yang terus menangguhkan
jawaban kepastian yang sangat dinantikan Marlon.
“ … Maka jangan heran apabila Abang punya angka ini
seharga sepuluh ribu rupiah per amplopnya. Ingat, sasaran kita adalah uang
ratusan juta rupiah! Ratusan juta rupiah! Bayangkan!” Entah sudah berapa lama
pria perlente itu mengoceh sambil mengutak-atik angka dengan spidolnya.
Wajahnya kini tak segar lagi. Keringat berlelehan membanjiri sekujur badan
melengketkan kemeja Arrow-nya pada kulit punggung. Satu dua penonton tampak
ngeloyor meninggalkan kerumunan. Agaknya harga kode buntut itu bagi kebanyakan
perubung masih jauh dari jangkauan meski lelaki penjual mimpi itu telah dua
kali banting harga (demi untuk lebih mempererat persaudaraan, dalihnya
sekenanya). Sekarang senyumnya tak lagi mampu menyembunyikan air muka
sesungguhnya … memelas. Ya, seperti wajah Marlon ketika Maryati mengambil
keputusan tegas….
Dari Rahayu, Maryati mendengar adanya perjanjian
rahasia antara Marlon dengan Rahadi, kakaknya Rahayu. Isi permufakatan itu
seakan telah memuncratkan darah Maryati dari seluruh pori-pori kulit tubuh.
Untung ia masih mampu berpikir dewasa dan bersikap bijak. Ia merasa harus
terlebih dulu memastikan sendiri kebenarannya meski ia juga yakin bahwa ucapan
kakak-beradik Rahadi dan Rahayu merupakan sumber yang layak dipercaya. Maryati
harus terlebih dulu bertemu dan berbicara empat mata dengan Marlon … sebelum
menghantamkan palu keputusan. Ia sudah
tak sabar menunda penuntasan persoalan.
Maryati sendirian mendatangi Marlon di rumahnya.
Marlon yang sedang sibuk mengutak-atik sepeda motornya langsung bangkit berdiri
dan menemuinya di ruang tamu. Selama persahabatan mereka, baru kali ini Maryati
datang ke rumahnya. Dan ia menggeleng pelan namun tegas ketika dipersilakan
duduk.
“Lon, aku ingin mendengar sendiri langsung dari
lidahmu,” suara Maryati bergetar, ditentangnya mata Marlon yang berdiri di
depannya.
“Tentang apa, Yat?” Marlon menepi waspada. Matanya
goyah menengarai kekhawatiran yang menyelinap di hati.
“Tentang permufakatan keji antara kamu dengan Rahadi.”
“Permufakatan? Aku tidak mengerti …”
“Kamu tidak perlu berpura-pura!”
“Pura-pura? Ah, jangan bikin aku makin bingung, Yat.”
Maryati tersengal. Ada bola api yang memburu napasnya.
Dan nyala kemarahan yang menggelegaki dadanya.
“Aku suka kamu karena kamu jujur padaku,” Maryati
menarik napas dalam-dalam mencari kendali diri, tapi sia-sia, “Benarkah …
benarkah ada surat perjanjian antara kamu dan Rahadi,” matanya mulai terasa panas dan basah, “yang isinya …
bila aku gagal kaunikahi akan kauberikan GL-mu padanya, sebaliknya bila kau
berhasil Rahadi akan menyerahkan kiosnya di pasar untukmu? Benarkah?”
“Oh, itu … itu tidak keliru. Itu betul, Yat. Kios itu
letaknya sungguh strategis, di samping kiri pintu gerbang masuk pasar. Harga
jualnya sangat tinggi. Kita bisa memanfaatkannya kelak … setelah kita resmi
menjadi suami-istri …” Marlon menengadah, menatap plafon kayu jati berukir. Ia
menghindari bertatapan langsung dengan Maryati.
“Jadi kamu yakin aku pasti mau nikah denganmu?” air
mata Maryati telah tumpah dan mengalir. Kesabarannya telah menggelincir. Ia
menautkan bibirnya erat-erat. Marlon beringsut lebih minggir menepi.
“Apa yang kamu lakukan itu, untukku, kamu telah …
telah memperjudikan aku!” menjerit sang nurani kala mulut pekikkan kata yang
sangat dibencinya, benci sampai tulang sungsum: judi! Dan Marlon hanya bisa
terhenyak disentakkan oleh kesadaran yang datang terlambat, kesadaran akan kesalahan
terbesarnya. Mulutnya hanya bisa menganga dan tangannya hanya bisa serawehan seolah sedang mengatakan
sesuatu.
“Tidak tahukah kalau aku benci judi?” wajah Maryati
kaku mengejang. Dan airmatanya cepat mengering di pipinya yang memerah membara.
Harga dirinya telah menyalakan dan menyalangkan matanya, “Marlon, kita harus …
harus berpisah. Selamat tinggal.” Kata-katanya yang terakhir itu tampaknya
telah berhasil meredamkan gejolak yang menghentak-hentak. Ada kelegaan yang
membasuh bara di wajahnya. Hanya dalam hitungan detik ia sudah kembali seperti
sediakala. Seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Mereka berdiri berhadap-hadapan. Tanpa kata-kata.
Lengang. Hanya hembusan napas Marlon dan
tak-tik suara jam dinding yang terdengar. Marlon berdiri bersandar di dinding.
Tangannya yang basah berkeringat erat mencengkeram punggung kursi. Mata mereka
tetap tak bisa bertemu. Dan kemudian Maryati tersenyum. Ya, tersenyum. Senyum
yang sulit ditebak apa maknanya…. Dan kemudian ia berbalik sigap dan melangkah
mantap menuju sepedanya.
Dikayuh
sepedanya pelan dan anggun. Punggungnya dari samping tampak lebih lurus dari
biasanya. Wajahnya dari samping tampak lebih kurus dari biasanya. Dan kemudian bayangnya hilang ditelan perdu
kembang sepatu. Dan Marlon hanya mampu bersandar seperti patung buntung. Sampai
akhirnya terdengar suara lantang ayahnya memanggil.
Di kemudian hari orang akan bilang, betapa tololnya
Marlon. Di kampungnya, hampir semua orang tahu akan kebencian Maryati pada
judi. Ayahnya direnggut maut karena judi. Adik satu-satunya pergi abadi tak
kembali juga karena judi. Maryati hingga sekarang masih saja menyesali keadaan
waktu itu yang tak mampu memberi pengobatan selayaknya pada adiknya yang
terbaring tak berdaya di lantai selama sebulan didera typhus, setelah semua
barang berharga miliknya, termasuk dipan dan
tempat tidur, ludas tandas untuk melunasi seabrek hutang-hutang
“warisan” ayahnya sebelum meninggal. Bahkan tempat tinggal satu-satunya, rumah
tua warisan leluhur, harus diparuh dan dijual sebagian dengan harga amat murah.
Mendiang ayahnya memang bukan penjudi kelas teri.
Kebencian Maryati pada judi menjadi buah bibir yang
mekar menjalar melalui gethok tular
dari mulut ke mulut … tak terkecuali juga sampai ke telinga Rahadi. Ia sungguh
terheran-heran dengan bualan sobatnya, Marlon, sang dedengkot judi, yang
mengoceh ke sana ke mari menyiarkan rencananya: secepatnya menikahi Maryati.
Ya, Maryati yang dikenal benci judi. Aneh bin ajaib bin mustahil!
Sejak peristiwa itu, hampir sebulan Maryati lebih
banyak mengurung diri di kamar. Ibunya tak dapat berbuat banyak. Tidak
berlebihan kalau ada orang yang bilang, Rahayu adalah dewi penolong bagi
Maryati. Saat itu memang hanya Rahayulah, sahabat sejak di sekolah dasar, yang
mampu mengangkat semangat hidup Maryati yang terpuruk. Dengan cara berpikir
yang logis sistematis, dengan tutur kata yang rasional intelektual, dengan
kesejukan dan kelembutan perasaan seorang wanitatama, Rahayu berhasil
membangunkan Maryati dari kelelapan sebelum berkepanjangan.
Maryati kehilangan kesempatan karena terbuai oleh
‘kisah-kasihnya’ (ini istilah Rahayu, ia sendiri selalu mengatakan
‘persahabatan’) dengan Marlon. Kesempatan berikutnya tak boleh disia-siakan,
kesempatan ikut berlaga di Sipenmaru. Kesempatan untuk bisa kayak Rahayu yang mahasiswi
berprestasi di sebuah PTN ternama di Yogyakarta.
Lolosnya Maryati dari seleksi super ketat dapat
menetralisir kesenduan dan membangun kembali rasa percaya diri. Kesibukan
sebagai mahasiswi mampu menyingkirkan kepiluan. Ya, tak bisa dipungkiri, sebetulnya
Maryati sudah mulai bisa menerima Marlon dengan kekurangan-kekurangannya.
Sekarang cita-citanya sudah keras mengkristal untuk menjadi guru seperti
ibunya.
Lamunan-lamunan Maryati membuatnya terlambat menyadari
keadaan. Ia sekarang tinggal seorang diri berdiri di tengah arena. Para
perubung sudah lenyap entah pada pergi ke mana. Ia sekarang berdiri sendiri
berhadap-hadapan dengan si Abang penjual kode buntut. Maryati pun jadi
belingsatan salah tingkah. Namun agaknya pria itu sudah terlampau letih untuk
memperhatikan gadis berjaket kuning yang berdiri gundah di depannya. Pria itu
menunduk sibuk membenahi dagangannya yang berserakan dengan sesekali menyeka
wajahnya yang berkeringat dengan saputangan.
Dari kejauhan tampak seseorang dengan jaket kuning
berlari-lari kecil ke arah Maryati, “ … Kemana saja kamu? Kucari-cari setengah
mati! Kita berangkat bersama pulangnya juga mesti bersama. Bikin aku senam
jantung saja …” suara judes yang khas dari Rahayu itu makin membuatnya gugup,
dan dengan tergagap-gagap disongsong sahabatnya yang berlari-lari kecil ke
arahnya.
“Perasaanmu harus dibiasakan untuk tunduk pada akal
sehatmu,” dan masih banyak lagi yang diomelkan Rahayu. Tapi itulah kata-kata
terakhir yang masih sempat didengar si
Abang penjual kode buntut itu. Dan pria itu diam-diam terus memandang mereka
berdua yang berjalan beriringan bergandengan … sampai kedua mahasiswi itu
hilang ditelan lalu lalang … ***
Purworejo, 1989
Cerita pendek ini memenangi lomba penulisan cerpen
“Kopisisa” 1989
Catatan:
nyonji
= mengutak-atik atau merumuskan angka yang bakal keluar