Untuk yang
kesekian kalinya pandangan yang kulempar ke arah jembatan menjumpai kehampaan.
Orang yang kunanti belum tampak batang hidungnya. Dan temanku sebangku, Bejo,
masih duduk tepekur.
“Sebentar lagi, Jo. Sabar itu subur,” aku berusaha
membesarkan hatinya sekaligus sebenarnya
untuk menghibur diriku sendiri. Bejo masih menekur seperti semula. Wajahnya tak
berubah: ada kesangsian di setiap tarikan napasnya. Hanya alis tebalnya yang
tampak hidup – sibuk berkerenyit naik turun mengusiri lalat yang merubung koreng di pelipisnya, luka akibat
tergores ujung atap seng.