SUATU HARI DI RUMAH BERSALIN

Lelaki itu meluncur masuk ke halaman rumah bersalin yang berkerikil dengan sepeda bobroknya. Napasnya masih ngos-ngosan akibat tenaga pas-pasan yang baru saja diempos. Keringat berlelehan di sekujur tubuh melekatkan baju dekil pada punggungnya yang  melengkung.
Tak ada seorang pun mendengar suara hiruk yang ditimbulkan oleh kendornya hampir semua mur-baut yang merangkai kendaraannya. Setelah dengan sewenang-wenang melemparkan pit rongsoknya, lelaki itu berdiri menghadap dinding rumah bersalin. Kemudian ia celingukan gundah. Kesendirian itu membuatnya gelisah. Matanya yang nyalang dan tegang mencari-cari pintu masuk. Sialnya semuanya rapat terkunci. Ia tersuruk-suruk mencari pintu atau apa saja yang sekiranya bisa memberi jalan untuk menerobos ke dalam.

Kegusaran yang mulai timbul diredakan oleh tidak tertutup rapatnya salah satu dari beberapa pintu. Dengan cara merayap kayak kadal, ia berhasil menyelinap masuk.
Ternyata rolling door garasi yang ditutup secara sembrono itu merupakan pintu gerbang masuk yang seakan memang dihadiahkan untuknya. Tanpa banyak kesulitan ia bisa terus merangsek masuk. Celakanya, di dalam ia hanya menjumpai benda-benda tak bernyawa yang membuatnya merasa sepi dan sebatang kara. Tak ada manusia sebatang pun. Bahkan cicak atau kadal pun tak ada.
Sebetulnya ia tak tahu harus melangkah ke arah mana untuk dapat menemui adik kandung yang didengarnya telah melahirkan bayi laki-laki. Ya, lelaki kurus kering itu ingin menemui adiknya. Nalurinyalah yang dengan payah dan tersendat menyeret langkahnya ke kamar kelas tiga yang terletak di sebelah ruangan khusus untuk menempatkan bayi-bayi yang baru saja dilahirkan. Untung saja nalurinya kali ini tidak menyesatkan.
Sejurus ia berdiri di muka pintu sebuah kamar. Setelah merasa yakin adik kandungnya berada di dalam, tanpa mengetuk atau memberi salam, ia menyeruak masuk. Dan sorot matanya yang tajam langsung menghunjam ke tubuh yang terbujur di tempat tidur, tubuh seorang perempuan muda yang tergolek dengan mulut sedikit terbuka dan wajah tengadah ke langit-langit. Lelaki itu berhenti dan berdiri mematung.
Perempuan muda itu belum juga menyadari bahwa tak jauh darinya telah berdiri mengangkang sosok awut-awutan yang menakutkan. Lelaki itu bergerak mendekat. Bunyi gesekan jarum peniti di sandal jepitnya dengan lantai keramik tak juga mengalihkan tatapan kosong perempuan itu pada plafon.
“Prenjak … “ panggil lelaki itu parau. Perempuan itu tetap pada sikapnya semula. Tak tampak ada segeming gerak.
“Prenjak …!” ulangnya lebih keras. Perempuan itu terhenyak. Dengan tatapan galau ia pandangi lelaki yang tahu-tahu sudah duduk membungkuk di pinggiran tempat tidurnya. Ia membatin: ya, namaku Prenjak, nama burung pewarta tamu kinasih
“Ohh …. Dari siapa Mas Podang tahu aku di sini?” wajah tirus perempuan yang dipanggil Prenjak menciut didesak mata bundarnya yang membuka lebar.
“Semua orang sudah tahu. Semuanya. Aku diberi tahu orang-orang celaka yang biasa nongkrong di terminal angkot.”
“Mas Betet, suamiku, apakah dia juga sudah tahu?”
“Kecuali si celaka yang satu itu. Betet pasti belum tahu. Orang yang terlalu banyak membaca buku pasti tidak tahu apa-apa. Atau seandainya sudah tahu pun, Betet pasti tak mau tahu!” Dengan jawaban yang tandas pedas, lelaki yang dipanggil Podang itu berharap adiknya akan menangis terguguk. Tapi ternyata Prenjak cuma memalingkan wajah kuyunya ke arah tiang infus di sampingnya. Melihat adiknya tak sesedih seperti yang diharapkan, Podang melanjutkan ocehannya, “Betet pasti sudah minggat. Sebagai sesama lelaki aku bisa paham dan maklum. Ya, dia pasti tak kuasa menanggung kenyataan pahit yang mesti dihadapi ini. Aku yakin kalau sikap baiknya terhadapmu selama kau mengandung hanya semata-mata karena rasa kasihan dan … hutang budinya padaku.”
“Mas Betet pasti sudah tahu. Dan dia pasti sedang dalam perjalanan ke sini. Dia pasti sangat bahagia. Dia pasti … “
“Betet tidak tahu kalau kau ada di sini!” potong Podang sengit. Dan Prenjak memilih diam.
Dengan jijik Podang membuang muka ke samping. Ia sangat meragukan bayi itu: benarkah bayi itu anak si Betet? Disodok oleh pikirannya sendiri Podang terlonjak, “Bayi? Mana bayimu itu? Mana?” dengan tergopoh ia mendekatkan wajahnya yang kotor  berminyak ke muka Prenjak. Pertanyaan yang diajukan dengan gugup tergagap-gagap membuat adiknya tersenyum.
“Di kamar bayi. Yang paling utara, deret pertama,” jawabnya tenang sambil membetulkan letak selimutnya.
Berlarilah Podang menyerbu ke arah yang ditunjukkan Prenjak.
Tersuruk-suruk lelaki itu mencari bayi adiknya. Hanya sekitar dua menit waktu yang dibutuhkan untuk menemukan ruang di mana bayi-bayi ditempatkan. Begitu ketemu langsung ditempelkan wajahnya di kaca dan dipolototinya wajah bayi yang tengah lelap itu. Bayi laki-laki yang berkulit tak semerah lainnya itu sama sekali tak terusik oleh gemuruh napasnya yang mengabutkan  kaca pembatas.
“Hmm … mirip benar dengan Betet. Besok setelah agak gede pasti lebih tampak kemiripannya: berhidung kayak betet, berambut kayak supermi, bertubuh kayak beringin, ber … pokoknya dia benar-benar kayak si celaka Betet … “ gumamnya seorang diri.
Kemudian Podang berjalan melingkar penuh kelegaan. Setelah berputar dua kali (pada yang kedua kali kakinya menyambar tempat sampah), dengan tergesa kembali dijenguknya wajah mungil tanpa dosa itu.
“Ya, lebih mirip Betet. Jelas lebih mirip si celaka itu daripada …. Syukurlah.” Ketenteraman yang menjalari jiwa dirasakannya bagaikan guyuran air kali pegunungan. Ingin dinikmati sesuntuknya kelegaan yang memang didambakannya.
Dihempaskan tubuh letihnya di ruang yang putih bersih itu. Diselonjorkan kaki kotornya di atas tempat sampah yang terguling. Dibentangkan tangan dekilnya di lantai yang tampak masih basah oleh kain pel. Kemudian Podang diam dan terpejam.
Dalam keheningan angannya melayang pada sosok lelaki berkulit gelap dengan wajah kearab-araban, yang menurut perkiraannya telah minggat terbang ke puncak Culmo Lungmo Himalaya … begitu ia tahu Prenjak akan segera melahirkan.
Podang membayangkan wajah Betet ketika ia benar-benar yakin bayi yang dilahirkan Prenjak benar-benar berasal dari benih yang ditaburnya. Betapa suka citanya Betet. Pasti akan dipeluknya setiap orang yang dijumpai di rumah bersalin ini.
Setelah merasa puas, Podang beringsut dan bangkit dan berjalan perlahan kembali menuju ke kamar kelas tiga di mana Prenjak berada. Dan adiknya telah menunggu dengan tatapannya.
“Bagaimana, Mas?” tanyanya lembut. Podang tersenyum. Adiknya ikut tersenyum. Ia sudah kembali duduk di pinggiran tempat tidur.
“Melahirkan pukul berapa tadi, adikku?” tanya Podang tak kalah lembut.
“Sekitar setengah satu … tak lama setelah suara azan Dhuhur terdengar,” jawab Prenjak sambil membetulkan letak bantalnya, “Sudah Mas lihat sendiri, ‘kan?”
“Ya. Besar. Berapa kilo beratnya? Tiga setengah? Hebat. Alangkah sehat dia menghirup udara. Alangkah nikmat dia memejam mata. Oh ya, kau baik-baik saja, ‘kan?” Lelaki itu merasa harus bisa berbuat baik pada adik kandung satu-satunya itu, “Ada yang bisa kubantu?” Agaknya dia ingin selekasnya membayar tunai rasa lega dan syukurnya dengan membuat bahagia sang adik. Dan Prenjak ingin memberikan kesempatan pada kakaknya untuk berbuat baik.
“Kalau memang Mas Benny eh Mas Betet belum tahu, tolong wartakan padanya ia kini sudah menjadi seorang ayah.”
“Hanya itu?”
Prenjak mengangguk.
Jidat Podang berkerut ketika dilihatnya sang adik menggigit bibir bawahnya.
“Kau baik-baik saja, Dik?” selidiknya.
Prenjak tidak menjawab. Wajahnya menegang. Ia memejamkan mata sambil meringis kesakitan. Podang berdiri, mulutnya ikut meringis.
“Perlu kupanggilkan perawat?” tanyanya sambil bersiap hendak melangkah keluar kamar. Adiknya menggeleng.
“Mas Pur tak perlu khawatir.”
“Mas Pur? Adikku, jangan sekali-sekali panggil aku Pur, itu masa lalu. Aku kini sudah jadi burung Kepodang,” wajah lelaki itu mendadak mengeras. Prenjak mengerut takut.
“Maaf Mas, aku kadang masih lupa …. Begini, Mas Podang tak perlu khawatir. Konon nyeri yang begini-ini lumrah terjadi pada wanita yang baru melahirkan,” tangannya mengelus-elus perutnya, “Bukankah demikian, Mbak Tien?” tanya Prenjak seraya menoleh ke arah teman sekamarnya yang sejak kedatangan lelaki itu merasa beruntung dianggap tidak ada.
Sesaat lelaki kerempeng yang ingin jadi burung Kepodang itu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya begitu ia menyadari bahwa di kamar itu Prenjak tidak sendirian. Dengan kegugupan seorang yang telah bertindak ceroboh ia mengangguk kaku dan tersenyum kecut ke arah perempuan muda sebaya adiknya yang memandangnya takut-takut. Perempuan itu tidur dengan satu kaki menjuntai ke lantai seolah siap meloncat dan lari kalau  bahaya datang tiba-tiba.
Beberapa saat kemudian Prenjak, yang nama sebenarnya adalah Purwanti, dan Tien telah terlibat perbincangan panjang lebar perkara perut. Karena lelaki yang anti dipanggil  Pur itu merasa tak dilibatkan dalam perbincangan, ia pergi membawa perutnya berjalan-jalan mengitari kamar melihat-lihat gambar di kalender juga tulisan-tulisan yang tertempel di dinding.
Beberapa saat kemudian pandangannya yang jadi sayu karena letih menumbuk salah satu tulisan berpigura. Lelaki yang dulunya memang biasa dipanggil Pur itu mendekati, bukan untuk membacai tapi cuma ingin mengamati betapa rumit ukiran pada bingkai. Namun matanya yang pernah sangat terlatih mampu membaca tulisan di dalam bingkai kayu itu walau tanpa memandangnya langsung.
Sang Kepodang yang di KTP terakhirnya tertulis bernama Drs. Purwanto itu jadi menyesal. Ya, ternyata ia telah melanggar semua larangan yang tertulis di situ: ia masuk kamar tanpa melepas alas kaki, seenaknya duduk di pinggiran tempat tidur, besuk tidak pada waktunya, dan … Dan ia tak sudi berlarut-larut meneliti dosa-dosanya.
Purwanto alias Podang mengerjap-kerjapkan matanya yang menjadi panas pegal. Air mata merembesi pipi pada saat kedua matanya yang berkaca-kaca ia pejamkan. Ia menangis karena mencoba memberanikan diri membaca beberapa deret huruf pada tulisan berpigura lainnya di dinding. Kegiatan membaca mengingatkannya pada masa lalu. Masa sebelum ia ingin menjelma menjadi burung untuk dapat terbang bebas sejauhnya. Masa sebelum ia merasa tak tahan hidup sebagai manusia, manusia yang paling celaka di dunia.
Membaca adalah kegiatan manusia beradab, begitu ia sering menggumam seorang diri. Setelah peristiwa getir tiga tahun lalu, dia merasa tidak lebih dari seekor burung. Bukan burung perkasa seperti Garuda, tapi cuma Kepodang, cuma burung pethetan, burung berbulu kuning yang menemaninya bermain waktu kecil.
Setelah puas mengutuki diri, Purwanto menghampiri Purwanti dan Tien yang agaknya sudah rampung memperbincangkan soal perutnya masing-masing.
”Selain soal suamimu, apalagi yang kaupesan?” tiba-tiba Purwanto merasa harus melakukan hal besar selekasnya. Hal yang fenomenal untuk dihadiahkan pada adiknya.
“Hanya itu,” jawab Purwanti sambil mengerling penuh arti ke arah Tien. Agaknya mereka tidak hanya berbincang tentang perut mereka sendiri tapi juga tentang perut Purwanto yang kempis seperti ban tanpa angin, juga tentang ‘angin’ yang telah membawa kakaknya ke kamar itu. Purwanti yakin Mas Benny-nya tercinta tengah dalam perjalanan menuju rumah bersalin untuk mencium keningnya dan menimang darah dagingnya.
Sebenarnya tanpa dikomando pun Purwanto memang ingin selekasnya mencari Benny untuk mengabarkan bahwa istrinya telah melahirkan dengan selamat, dan yang lebih penting lagi adalah untuk minta maaf atas segala dosanya.
Di luar mendadak hujan turun. Makin lama makin deras. Dan setelah membungkuk pada Tien dan melambaikan tangan pada adiknya, Purwanto pergi bergegas keluar kamar. Purwanti dan Tien merasa tak akan ada gunanya memperingatkan akan lebatnya hujan di luar.
“Kasihan ya, Dik Pur,” Tien menyingkapkan kain gorden untuk dapat melihat kelebat lelaki yang menyuruk menuju halaman depan rumah bersalin, “kebiadaban seorang kakak yang melayurengaskan tunas keluarga yang baru dipupuk ….”
“Aku masih ingat sosoknya: pilot muda yang tampan dan semampai. Dulu kami, cewek-cewek di gang Jalak, menjulukinya si Garuda. Dia sering mengantarkan Mbak Nuri ke rumah untuk bertemu Mas Pur …. Kami bangga punya kenalan seorang pilot.”
“Tentu Dik Pur naksir berat, ya?” goda Tien.
“Aku sudah punya Mas Benny waktu itu,” Purwanti berusaha mengelak.
“Masih ingat apa yang dilakukan si Garuda pada saat resepsi perkawinan Mas Pur dan Mbak Nuri?”
“Tak ada yang istimewa. Biasa saja. Hanya, tapi ini menurutku, tawanya agak berlebihan.”
“Menurutmu Mbak Nuri itu … “
“Aku tidak tahu. Yang jelas pada hari pernikahannya, Mbak Nuri sudah mengandung, dua atau tiga bulan. Bayi yang dikandung, seperti yang tadi sudah kuceritakan, benihnya dari si Garuda yang adalah kakak kandungnya sendiri ….” Purwanti menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Setelah itu Mas Pur bukan lagi Mas Pur, lebih-lebih setelah hari pernikahanku ….”
Hujan makin deras mengguyur tanah pekarangan rumah bersalin. Purwanto terus melangkah keluar tak peduli akan hujan yang menguyupkan tubuhnya. Ia juga sama sekali tak peduli pada sepeda bobroknya yang lenyap entah ke mana. Dengan tekat kuat untuk segera menjumpai Benny, Purwanto menerjang curahan hujan. Ia tak sabar untuk secepatnya mewartakan bahwa bayi yang keluar dari rahim adiknya benar-benar dari benih Benny, bukan dari benihnya.
Hujan lebat makin kejam mendera tubuh ringkihnya. Purwanto tak peduli. Ingin selekasnya meneriakkan temuannya: bahwa kulit bayi itu tak sepucat kulitnya, hidung bayi itu tak sepesek hidungnya, rambut bayi itu …. Tersengal-sengal ia saking bernafsunya untuk secepatnya memuntahkan apa-apa yang mengganjal di dada ke dalam kedua lubang telinga adik iparnya itu.
Purwanto memaksa kakinya untuk berlari sekencangnya menerobos hujan yang bertirai-tirai digerai angin. Ia tak hendak terlambat untuk minta maaf. Ia merasa sangat berdosa. Perasaan berdosa yang makin menghantui dirinya begitu tahu Purwanti adiknya telah hamil. Ia makin didera perasaan bersalah. Ia merasa seolah-olah telah menjarah kesucian adik kandungnya sendiri. Mimpi buruk yang selalu hadir setiap malam selama tiga tahun, mimpi mengerikan tentang burung Garuda yang menggagahi burung Nuri, menjadi makin jelas. Makin jelas merahnya warna darah yang memerciki seprei putih. Makin jelas pilunya isak tangis yang mengiris-iris hati. Dan makin pecah terbelah-belah hatinya, juga semuanya … lebur.
Ia tak peduli dengan tubuhnya yang dipontangpantingkan hujan angin. Orang-orang di sekitarnya, para pemilik kios rokok dan warung nasi juga orang-orang yang sedang berteduh, melihat dengan takjub bagaimana lelaki itu tiba-tiba berhenti berlari. Kemudian ia berdiri tegak dengan wajah mendongak ke langit. Kedua kakinya berjingkat dan kedua tangannya yang dibentangkan bergerak melambai naik turun. Mula-mula perlahan, kemudian makin lama makin cepat berirama … mengepak-ngepak seperti sayap burung. Ya, ia merasa seolah telah terbang tinggi. Tinggi sekali, jauh di atas hujan, jauh di atas awan.
Dua ratus meter dari rumah bersalin, tampak berjalan bergegas lelaki bermantel dan berpayung. Lelaki tinggi besar berkulit gelap yang berjalan ke arah sang Kepodang itu tampak mengerutkan kening melihat pemandangan yang tak lazim di depannya. Dua meter di depan kakak iparnya, lelaki itu, Benny, berhenti sejenak. Ia menghela napas. Ingin dipeluknya orang yang pernah ia kagumi karena ketabahannya. Tapi burung Kepodang itu pasti tak peduli. Ia akan terus mengepak-ngepakkan sayapnya. Benny tahu burung itu hanya ingin terbang, terbang meninggalkan sejarahnya. Terbang meninggalkan luka menganga yang terus berdarah-darah. Terbang menuju puncak Culmo Lungmo Himalaya ….***

Purworejo, 1995

Catatan: Diambil dari buku antologi puisi & cerpen ‘Kemuning’ (2005)
Cerpen Junaedi Setiyono